Senin, 30 Januari 2012

Review : Mockingjay



Judul : Mockingjay
Pengarang : Suzanne Collins
Alih Bahasa : Hetih
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (Januari 2012)
Tebal :423 halaman

Distrik 13.
Di akhir Catching Fire kita dikejutkan oleh keberadaan Distrik 13—yang diujung buku masih berupa tanda tanya apakah benar adanya. Mockingjay mengambil latar sebagian besar di Distrik 13. Diabaikan oleh Capitol karena kepemilikan senjata nuklir. Secara fisik memang tersembunyi karena Distrik 13 berada di dasar permukaan tanah.
Katniss bersama penduduk Distrik 12 dan pemberontak dari distrik lain yang selamat kini ditampung oleh Distrik 13. Di Distrik 13, persiapan pemberontakan dilakukan, termasuk melatih para penduduk menjadi prajurit. Para pemberontak berencana untuk menguasai distrik-distrik yang masih memihak pada Capitol, sasaran utama pemberontak adalah Distrik 2. Namun para pemberontak ini mengalami sedikit masalah dengan Katniss—yang diharapkan bisa menjadi ‘Mockingjay’ akan tetapi pada kenyataannya Hunger Games membuat mental Katniss terganggu. Salah satu hal yang paling mengganggu pikiran Katniss adalah Peeta yang diculik oleh Capitol. Pada akhirnya, demi menyelamatkan Peeta, Katniss bersedia menjadi Mockingjay.
Peeta dan pemberontakan kepada Capitol menjadi benang merah dalam cerita ini. Akan tetapi, jangan lupakan Gale—sahabat Katniss. Drama Katniss, Gale, dan Peeta cukup memenuhi kisah heroik para pemberontak untuk menggulingkan Presiden Snow dan Capitol. Untukku, bahkan kadar itu terasa terlalu banyak. Aku mengharapkan kisah pemberontakan yang lebih epic, namun ya pemberontakan itu tetap terjadi, sama mengerikannya dengan Hunger Games, dan tentunya bukan sekedar permainan.
Penceritaan novel ini dengan sudut pandang orang pertama merupakan kelebihan sekaligus kekurangan. Sudut pandang ini membawa kita merasakan kepedihan Katniss yang mendalam—ketakutan dan paranoianya. Namun sudut pandang ini juga terpaksa membuat kita melewatkan puncak pemberontakan, kehilangan momen-momen saat Presiden Snow tertangkap.
Akhirnya, trilogi yang seru dan menegangkan ini pun usai dengan akhir yang aku yakin sudah kalian semua duga dari awal: Presiden Snow tertangkap dan Panem pun mendapatkan kebebasan dari kediktatoran Snow. Kebebasan dari cengkeraman rasa takut, ketidakadilan, dan kekurangan untuk semua rakyat Panem. Namun apakah kebebasan dari rasa takut juga didapatkan oleh mereka yang pernah menjadi peserta Hunger Games? Ya, selama memiliki dan bersama seseorang yang dicintai, seseorang yang memeluk tubuhmu dan mencium bibirmu ketika mimpi buruk melanda—ketakutan itu perlahan akan musnah.

Banyak permainan yang buruk di dunia, tapi ada yang jauh lebih buruk. Akan tetapi melewatkan trilogi ini adalah pilihan buruk untukmu.

Aditia
Bogor, 30 Januari 2012

Read More..

Senin, 02 Januari 2012

Jaring Laba-Laba

Jaring Laba-Laba
(Sebuah review untuk novel Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh karya Dee)
Ditulis untuk proyek #read2share oleh @nulisbuku & Fimela
Oleh: Aditia Yudis

Pertama kali aku memegang buku itu kira-kira sembilan tahun yang lalu. Bukan menjadi buku pertama yang kubaca, bukan pula yang pertama menjadi koleksi di deretan rak bukuku. Dari seorang tante yang merasa kewalahan mengurusi koleksinya, aku mendapatkan buku itu. Beliau membiarkanku memilih dari dalam sebuah kardus yang sudah dihiasi jaring laba-laba. Pada buku tersebut aku menjatuhkan pilihanku.
Semacam takdir ya? Bolehlah disebut seperti itu karena ternyata pada hari-hari selanjutnya buku itu membuat suatu perubahan revolusioner dalam hidupku. Sang Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh itu telah memanduku untuk menemukan passion-ku, menulis.
Lewat deretan kata-kata indah, awalnya semua hanya sekedar memukau. ‘Wow, cantiknya si pengarang ini menceritakan kisah roman, dongeng dan sains dalam level diksi yang setara’. Kira-kira seperti itulah, ungkapan kekagumanku terhadap buku tersebut jika harus mengatakannya hari ini. Dulu, mungkin kata-kata yang akan kurangkai lebih sederhana itu. Akan tetapi, kata ‘Wow’ sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa aku terpesona oleh keseluruhan buku tersebut.
Meski cetakan yang kudapatkan kertasnya masih berupa kertas buram dan covernya pun sudah lecek, tapi jalinan cerita dari buku tersebut membuat aku lupa segala kekurangan itu. Isu-isu yang diangkat sedikit asing bagiku yang masih sekolah menengah, di desa pula. Namun justru itu yang membuatku makin tertarik menyelesaikan lembar demi lembarnya.
Keningku berkerut ketika membaca lembar pembuka dari novel tersebut. Taman kanak-kanak. Supernova. Jaring laba-laba. Ucapan selamat datang dan ajakan bermain. Sempurna membikin puyeng, tapi aku tidak berhenti sampai di sana.
Dimas dan Ruben mengawali semua dengan begitu menarik dengan mengkuti kejernihan yang mereka timbulkan dari badai serotonin. ‘Kejernihan’ yang dalam bab atau biasa pengarang menyebutnya ‘Keping’ itu menjurus pada mengakuan Ruben kepada Dimas jika dirinya adalah seorang gay. Dari situlah semua berawal, hinggal sepuluh tahun kemudian ketika mereka berikrar untuk menulis sebuah karya masterpiece.
Sepuluh tahun pun bagaikan sekedipan mata.1
Debat demi debat dan bercangkir-cangkir kopi mewarnai proses pembuatan karya masterpiece mereka. Setelah urun rembuk yang berbelit akhirnya kedua memutuskan untuk menulis sebuah roman sains yang romantis sekaligus puitis.
Keping pun bergulir pada Ferre atau akrab disapa Re, pemuda 29 tahun yang bekerja di sebuah multinational corporation. Seorang pria dengan karir cemerlang yang membuat dia selalu bisa menikmati pelayanan first class tapi tak pernah bisa menikmatinya. Hidupnya penuh angka, penuh rencana, penuh perhitungan untuk keberlangsungan korporasi tempatnya bekerja.
Sementara itu, Dimas dan Rubern bertutur tentang Teori Chaos. Bahwa setiap sistem bisa mengalami loop negative yang akan mendorong sistem tersebut kepada kehancuran. Titik kehancuran tersebut dianggap sebagai titik bifurkasi atau percabangan ketika sebuah sistem baru akan terbentuk. Chaos ini akan terjadi pada setiap sistem, termasuk Re.
Hanya butuh seekor kupu-kupu putih kecil yang menyelinap pada suatu pagi ke ruangan kantornya yang berada di salah satu lantai tertinggi.
Familiar dengan Teori Butterfly Effect? Ya, kita akan melihat efek demi efek yang menghancurkan sebuah sistem di halaman-halaman selanjutnya.
Kedatangan kupu-kupu adalah pertanda akan datangnya seseorang bertamu pada kita, begitu ungkapan orang-orang lama. Mitos itu pula yang hari itu diingat oleh Re. Lalu, seorang wanita muda dari sebuah majalah berlogo kupu-kupu datang padanya.
Ah, mulai terbaca kan alur ceritanya? Eksekutif muda yang jatuh cinta pada seorang perempuan muda—perempuan muda yang sudah bersuami. Perempuan muda yang di perjumpaan pertama mereka berhasil mengungkit lagi keinginan terdalam si eksekutif muda yang sesungguhnya begitu ini menjadi seorang Ksatria.
Sebuah dongeng singkat nan puitis dan tragis menjadi merupakan alasan Re untuk keinginan itu. Dongeng berjudul Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh ini menceritakan tentang seorang Ksatria yang mencintai seorang Puteri dari Kerajaan Bidadari. Ketika sang Puteri kembali ke langit, Ksatria pun meminta bantuan Bintang Jatuh untuk mengajarinya sampai di langit. Akan tetapi, pada akhirnya Bintang Jatuh terpesona akan kecantikan sang Puteri dan menjatuhkan Ksatria. Pertanyaan muncul dalam benak Re yang pertama kali membaca dongeng itu saat kecil, ‘Bagaimana mungkin ketulusan Ksatria dihargai hanya dengan aurora?’. Kini, Re merasa telah menemukan sang Puteri yang dicintainya dalam diri perempuan muda itu, Rana.
Konflik bergulir perlahan diselingi penjelasan Ruben dan Dimas mengenai ‘tanda tanya agung’. Hingga akhirnya diperkenalkanlah kita pada sosok Bintang Jatuh. Pada saat bersamaan kita pun disodorkan oleh sosok, Diva, seorang model catwalk yang rupawan. Namun kemudian kita disodori kenyataan betapa ‘nyentrik’-nya pola pikir seorang Diva.
Ah, tak perlu aku jabarkan semua ceritanya di sini, kan? Dengan hal-hal yang aku uraikan di atas setidaknya banyak konflik menarik yang membuat aku tak henti membaca hingga halaman Pergolakan perasaan yang diceritakan begitu indah dipadu dengan teori-teori Fisika. Benar-benar brilian!
Walaupun begitu, bumbu sains di dalamnya mungkin tidak akan dengan mudah diterima pembaca. Buatku itu begitu cerdas, membuat aku ingin lebih banyak tahu dan belajar tentang sains. Akan tetapi, beberapa komentar lain yang kudengar bicara jika novel tersebut terlalu berat, berulang kali mereka membaca tak juga mengerti isinya.
Aku pun melakukan hal yang sama—mengulang membacanya berkali-kali. Sejak pertama kali memilikinya, mungkin aku sudah membacanya hingga dua puluh kali lebih. Namun seperti biasa, lembar demi lembar itu tak pernah membosankan malah cenderung menimbulkan pertanyaan demi pertanyaan baru.
Isu-isu yang dibeberkan di dalamnya, homoseksualitas, pernikahan dengan orang ketiga, pelacuran kelas atas, dibalut dengan tuturan sains yang menarik. Membuka paradigma kita jika sains yang selama ini dianggap murni pun punya andil dalam memberikan penjelasan-penjelasan untuk hal-hal yang dianggap remeh setiap hari. Membayangkan bagaimana pengarang lewat tokoh Ruben dan Dimas menceritakan tentang Strange Attractor, Peta Mandelbrot, Paradoks Schrodinger, dan Kesadaran benar-benar membuatku tertegun.
Sejak saat itu aku mulai bermimpi untuk membuat sebuah karya yang lebih luar biasa dari pada itu. Hal pertama yang aku lakukan untuk menggapai mimpi itu adalah mulai menulis. Ya, bisa dibilang jika novel Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh karya Dee inilah yang memotivasi dan mendorongku menulis untuk pertama kalinya.
Begitu inspiratifnya novel tersebut, di awal-awal aku menulis beberapa teman pernah menyamakan gaya tulisanku dengan Dee. Ya, kepada tulisan beliau aku berkiblat, mengamati bagaimana beliau menyusun kata demi kata, sebab untuk akibat, dan bagaimana menggulirkan cerita menjadi begitu manis. Tapi, sekarang sudah tidak ada lagi yang bilang seperti itu. Seperti kata Ruben, ‘Time flies, my friend2.
Bagian lain yang begitu kuingat dari novel itu adalah sosok Ferre yang begitu melekat di ingatanku. Bagaimana sosok tersebut—seorang eksekutif muda yang bermimpi menjadi ksatria dan berjiwa pujangga—harus mengubur impian tersebut karena dalam realitas ia tak pernah benar-benar menemukan seperti apakah ksatria itu. Namun selanjutnya cinta, memporak-porandakan penjara masa lalu Ferre dan mengembalikan si pujangga itu kembali ke singgasananya.
Ah, drama.
Manusia memang butuh drama agar merasa lebih hidup dalam hidupnya. Tanpa drama bumbu sains dalam novel tersebut akan terasa hambar begitu saja. Bukan berarti novel itu membuatku menjadi drama queen, tapi drama… seringkali kita memang membutuhkan itu. Itu adalah satu hal yang begitu kupegang dalam menulis sesuatu dan dalam merangkai sebuah cerita.
Mungkin memang aku ditakdirkan bertemu dengan novel tersebut. Seperti salah satu frase favoritku dalam buku tersebut ‘jaring laba-laba’, yang ditulis Dee di dalam newsletter dari Supernova kepada para pembacanya. Bahwa kita semua berada dalam jaring laba-laba yang sama dan saling terhubung tanpa kita menyadarinya. Buatku, jaring laba-laba itu serupa takdir.
Dan hari ini aku menulis di sini, jika bukan karena takdir, lalu apa?
Bogor, 21 November 2011
Catatan:
Kutipan di atas diambil dari Novel Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. Cetakan 3, April 2001
1 Halaman 10
2 Halaman 9

Read More..

Review : When I Look Into Your Eyes

Review



Judul : When I Look Into Your Eyes
Pengarang : Netty Virgiantini
Genre : Teenlit
Terbitan : November, 2011
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Ya, ya, setelah sekian lama akhirnya saya membaca genre ini kembali. Sebagai bekal untuk menulis sebuah novel teenlit, saya terpaksa kembali berjibaku dengan remaja dan kehidupannya.

Memilih novel ini berawal dari nama—Arga dan Arya. Keduanya nama orang dekat saya dan saya tertarik ingin tahu bagaimana keduanya diceritakan di dalam novel tersebut.

Arga dan Arya hanya dua dari tiga tokoh utama dalam novel remaja tersebut. Seruni, gadis kelas dua SMA di Magetan yang punya kebiasaan terlambat ini adalah pemilik mata bundar indah yang menarik hati Arga dan Arya. Nyatanya, Arga dan Arya adalah kakak beradik yang jauh berbeda sifat dan tabiatnya.

Bumbu-bumbu cinta segitiga, tapi itu hanya di permukaan. Makin ke belakang, saya disuguhi oleh konflik masa lalu antara orang-orang dekat Arga, Arya dan Seruni. Bahwa keluarga Wardana ternyata memilik keterkaitan erat dengan ibunda Seruni. Mata bundar indah itu menjadi satu jembatan dan jawaban antara masa lalu dan masa sekarang yang hilang dalam hidup Seruni.

Ceritanya mudah ditebak? Ya. Namun di balik kisah romansa khas remaja, drama keluarga dalam novel ini merupakan menu utama. Diramu dengan kekonyolan-kekonyolan dan pertemanan khas anak sekolah membuat novel ini terasa ringan bahkan menyentuh. Pilihan setting cerita yang ditempatkan di Kota Magetan juga merupakan salah satu kelebihan dari novel ini. Menunjukkan bahwa remaja tak perlu hedon agar hidupnya dramatis. Humor dan drama-drama khas remaja di dalamnya pun diceritakan dengan apik yang membuat saya tak henti tersenyum setiap membuka lembarnya. Sungguh menghibur dalam-dalam!

Adit

Read More..