Sabtu, 26 Februari 2011

The Book


Year 2313, Day 97.

Area 9 (Ex-West Java, Banten, and Jakarta) of East Land.

Bertimpuh di tepi beranda pagi ini. Gemerlap kilauan terang cahaya matahari menembus tiang-tiang kayu di sekitar. Pucuk-pucuk pinus dan agathis bergoyang semarak oleh belaian pagi bayu. Langit memantulkan warna emas dari sinar surya yang baru menyapa.

Aku di sini, setia bersamanya. Setia menemani, mendengarkannya berbisik, mencari tahu apa yang terjadi padanya. Aku sesetia itu padanya. Dia yang selalu membiarkan aku mampir ke bibirnya. Merah gelap warnanya, karena sesekali diteguknya alkohol atau kopi, tidak jarang ditenggerinya rokok. Ah, siapa peduli, sebab bibir itu tak pernah berkurang lembut cecapnya.

Dia yang kini tenggelam di antara lembaran buku baru miliknya yang baru beberapa hari lalu selesai ditulisnya. Itu usang, tapi dia tetap memilih membaca dengan cara tradisional dibandingkan menggunakan book reader digital seperti yang seorang sahabatnya pernah tunjukkan. Dengan bangga dia menenteng jilidan kertas tebal itu ke mana-mana, membalik tiap lembar kertas, menghabiskan waktu lebih banyak dibandingkan memakai book reader yang tebalnya tak kalah tipis dengan lembar kertas itu. Ia mencintai hal-hal klasik. Klasik adalah keindahan, menurutnya.

Cicit burung selalu hadir, menjadi musik pengiring setiap pagi yang aku dan dia habiskan. Tupai berlarian di sela ranting-ranting agathis. Semilir angin mengajak daun-daun bergoyang dan sesekali menaburkannya ke udara kosong. Ini adalah duniaku, aku adalah miliknya.

Sekali lagi ia meraihku dengan lembut. Memelukku penuh kehalusan. Hangat dari pori-porinya menyembur padaku. Ah, untuk kesekian kali kecup dan sentuhan bibir itu kurasakan lagi. Kami rekat dalam beberapa saat. Lebur bersama. Satu kecap dan rasa serupa.

Diriku, miliknya satu-satunya. Ingin selamanya di sisinya.

Ia memang duniaku, akan tetapi sebelumnya aku pernah menjejak tempat lain. Rumah di mana aku dilahirkan, yang tak lagi sudi kusebut rumah sejak dia memboyongku ke sini. Di sana api, di sana besi, di sana jelaga. Dulu kulihat semua berbeda, langit kelabu, orang-orang berjalan lesu, debu dan deru mesiu.

Di beranda ini, rumah ini, di sampingnya, aku nyaman…. Sejuk bibirnya masih tertinggal saat kami terlepas. Sisa embusan napasnya menempeli tubuhku. Bosan sama sekali tak pernah kurasa. Aku merindui singgungannya. Aku adiksi terhadap jamahan bibir itu.

Tangannya menyibak lagi satu lembaran kekuningan itu. Lalu membenahi letak kacamata bacanya. Tertegun aku merayapi pandanganku padanya, dengan posisi lebih tingginya darinya, tatapanku leluasa meraba tiap lekuk pahatan muka itu. Dihiasi rambut hitam bergaya spike, hidung mancung dan kulit kecokelatan khas bangsa Timur. Kedua bola matanya menyiratkan kecerdasan dan sorot tajam seorang pemberani. Dipadu dengan bibirnya saat membentuk selengkung senyuman—siapa pun bisa ditaklukannya dengan itu.

Dia memilih di sini. Tempat ini. Lari.

Sedetik kemudian terdengar kepak sayang burung menjauh pergi. Suara para tupai terhenti. Hanya angin masih menarikan daun dan pasir yang terserak. Ia mendongak dari lembar bukunya, membenarkan posisi kacamatanya lagi.

Layar kacamatanya berubah gelap sesaat. Ia menarik satu napas panjang. Aku tahu apa artinya itu. Aku harap bukan berita buruk. Ia menutup bukunya, menarik selapis benda transparan yang dijadikannya pembatas antara halaman bukunya—lightbook. Satu jarinya menyentuh permukaan layar bening itu, lalu sebuah layar hologram besar mencuat dari sana.

Satu wajah terbentang di layar itu.

I’m coming, Ken! I’m home!”

Terdengar satu lagi helaan napas bersamaan dengan jari Ken menyentuh satu sisi layar. Tak lama, dengung halus sebuah mobile capsule terhenti di halaman rumah. Selanjutnya derap boot menggaung mendaki tangga beranda. Lalu aku bisa melihat sosok itu—pemilik wajah yang tadi tersaji di layar—Arian.

Hampir tak berubah seperti terakhir kali pemuda itu datang dan membujuk Ken untuk bergabung dengannya. Rambut brunette-nya masih terpotong pendek, ia datang dalam busana kasual favoritnya—celana dan jaket kulit serta boot setinggi betis. Langkahnya mantap, tas yang tersampir di punggungnya berayun berat. Di wajahnya terlampir seringai lebar. Tujuh tahun terakhir Arian menduduki posisi kepala lab di koloni OSS P 2503, salah satu pangkalan dan laboratorium luar angkasa terbesar di Heliopause*. Namun, delapan bulan belakangan dia lebih sering berada di Bumi, begitu seperti yang Ken tulis di jurnalnya.

Bibirnya Ken tertarik di kedua ujungnya, mengulaskan senyuman tipis. Matanya mengarah lurus pada sosok yang berjalan mendekat padanya. Mereka sahabat sejak kecil, korban perang dunia ke-5, sama-sama kehilangan orang tua dan Arian lebih beruntung dibanding Ken, karena Ken keturunan dua ras berbeda—membuatnya menjadi buronan. Pada masa perang itu, antara Barat dan Timur, saling ingin menguasai dan memurnikan ras mereka masing-masing. Aku belum lahir masa itu, tapi aku curi baca ketika Ken membuat catatan-catatan.

“Aku pulang saat yang tepat ya?”

Sekarang kedua sahabat itu berdiri berhadapan, dekat dan saling lekat menatap. Layar hologram dari lightbook Ken menyusut.

Aku ingat satu kalimat yang berulang kali ditulis Ken dalam catatan hariannya. Aku berhutang budi pada Arian. Oleh karena ras campuran dalam diri Ken, ia menjadi sasaran empuk perburuan para Race Hunter dari dua belah pihak, East dan West. Arian-lah yang menyelamatkannya, mengajaknya bersembunyi satu area hutan kecil—tempat ini, rumah Ken berada sekarang. Maka dari itu, Ken hampir tidak pernah menolak permintaan Arian.

“Kamu menyelamatkan hutan ini, Ken,” ujar Arian meletakkan satu tangan ke bahu Ken. “Hampir mustahil untuk dilacak. Kamu menyembunyikannya dengan sempurna.”

Welcome…. Sama seperti enam belas tahun yang lalu kan? Ketika pertama kali kita tersesat dan diselamatkan hutan ini. Aku hanya membayar hutang.”

Arian berdecak kagum, “ya, sebuah shelter yang nyaris sempurna.”

How about a cup of coffee?” Ken menjentikkan jemarinya dan dari dalam ruangan muncul sosok menyerupai manusia, Homby—si robot asisten.

Mata Arian memindai Homby yang mengangguk hormat padanya. Ken memprogram robot itu dengan sikap santun orang Timur dengan gaya luar seperti salah seorang pelayan di masa Jepang kuno.

“Sejak kapan dia ada di sini?”

Homby kembali ke dalam dengan gerakan cepat. “Six months. It’s kind a tired to life all alone.

You have to go to outside.

I know.” Secangkir kopi diulurkan Homby pada Arian bertepatan dengan jawaban dari Ken.

“Tak ada lagi Hunter Race, Ken.”

Ken mengangguk.

My offer is always open for you―

Seringai timbul di bibir Ken sebelum memotong perkataan Arian, “Iris’s offer, Ar.”

I’m Iris.”

Seembus napas panjang terdengar menderu dari Ken. Iris, sebuah organisasi Internasional—gabungan dari ilmuwan East dan West yang bertujuan untuk melestarikan kehidupan manusia di jagad raya, mengkoloni planet baru, menumbuhkan hutan di planet lain, dan berusaha menjangkau tiap jengkal semesta. Arian menyesap kopinya, matanya menerawang menembus pucuk-pucuk agathis yang ditepuk angin.

Aku tahu tentang Iris karena aku sering ikut curi baca e-newspaper yang sedang dibaca Ken pagi begini biasanya. Ken dan Arian direkrut oleh Iris sejak umur keduanya 14 tahun. Tapi ternyata Iris bermaksud mengambil alih hutan tempat mereka tinggal. Ken pun keluar begitu saja dari Iris setelah sepuluh tahun bekerja di sana, melarikan diri. Membuat kloning atas dirinya sendiri dan membunuhnya, lalu menyembunyikan hutan ini di balik sebuah sistem hologram canggih yang sekaligus berfungsi sebagai shelter—tak bisa diendus satelit, semua jenis gelombang tertolak dan dari luar hanya terlihat sebagai tanah tandus hasil terbakar. Hanya Arian yang tahu.

Akan tetapi di balik itu semua, Iris memiliki satu goal penting yang harus dilaksanakan dalam sepuluh tahun ke depan. Mereka butuh Ken untuk itu—a biological weapon specialist. Iris bukan hanya sudah memintanya dengan sopan untuk kembali, tapi sekarang sudah menaikkan kadar untuk memburunya. Salah satu alasannya adalah Ken dan hutan tempatnya tinggal sekarang menyimpan satu hal yang dibutuhkan para ilmuwan Iris untuk menciptakan senjata tersebut. Satu sentuhan akhir untuk senjata mereka dan Iris percaya, Ken bisa menyempurnakannya.

Setelah perang dunia ke-5 berakhir dua puluh tahun lalu, populasi meledak hebat. Dunia sesak. Gedung berkali-kali lipat tingginya dari masa awal abad ke-21. Pada akhirnya, hal tersebut berimbas pada banyak hal negatif—kemiskinan, kekerasan, kelaparan, kejahatan dan lainnya. Koloni masal pertama di Mars telah ditawarkan dalam sebuah paket kehidupan lengkap, tapi harga yang diberikan mencekik leher dan hanya dapat dibeli oleh orang-orang kaya. Cara lain untuk lari dari Bumi adalah menjadi bagian dari Iris, karena Iris membutuhkan banyak jenius untuk ditempatkan ke dalam pesawat penjelajah atau laboratorium antar planet-galaksi-nya.

Bumi harus dibersihkan dan ditata ulang. Penghancuran sisa manusia yang ada di Bumi tak akan berefek banyak bagi keberlanjutan hidup manusia, karena Iris sudah menyimpan bibit-bibit unggul manusia, lewat teknologi cloning dan bayi tabung, populasi manusia bisa diatur dengan mudahnya. Begitu menurut para punggawa Iris dengan dukungan dari government dari East Land dan West Land.

Sekali lagi, aku memang belum lahir saat semua di atas kuceritakan, tapi aku tahu dari ikut membaca jurnal Ken saat dia menulisnya.

Ken merengkuhku lagi. Mendaratkan bibirnya singkat padaku. Hanya sesaat sampai dia melepaskan hangatnya dariku.

I’ve finished it.

Arian menyimpulkan senyum.

Tell me.

Once it enters to your body, it’ll hurt you from inside. Damages your organs, destroy your blood cells. Just for one or two hours till all of your life turn to be ash. No DNA left, no blood flows. it’ll be very clean treatment for earth. You’ll love this.

Senyuman di roman muka Arian melebar.

I’ll come to you for that.

Of course, I know, brother.

Sedetik selanjutnya, tak lagi terdengar desau angin. Aku melihat sinar matahari yang menajam karena terpantul oleh dua permukaan metal bergerak dalam kecepatan tinggi. Ken berkelit dari terjangan tiba-tiba Arian. Desisan bilah samurai itu terdengar lagi, Ken menghalau lihai. Namun, Ken tahu bahwa dirinya terpojok di dinding.

Sekilas kulihat mata Arian berkilat merah. Tidakkah dia mengingat siapa yang diserangnya sekarang—sahabat baiknya? Kedua ujung pedang terhunus pada Ken. Jelas sekali kudengar deru napas Ken, sebelum dia dengan penuh perhitungan menghindar lalu menyerang bagian tubuh Arian.

Debuk tangan Ken menghajar lengan dan ulu hati Arian terdengar bersamaan dengan erangan keras dari mulut Arian. Namun, hal itu tidak membuat Arian berhenti. Ken mendapatkan ruang lebih leluasa untuk menyerang dari pada tadi. Ia menyiapkan kuda-kuda secara cepat, tak gentar menghadapi Arian dengan dua samurai di tangannya.

Ken mengarahkan serangannya lagi ke lengan Arian, mencoba merebut satu bilah pedang. Arian yang berlajar banyak dari kelengahannya tadi, sekarang lebih hati-hati. Dengan cepat, dia berhasil menyerang balik Ken dan menggoreskan bilah pedang itu ke lengan Ken.

Dari balik lengan kaus Ken yang terpotong, cairan merah merembes keluar dan mengular menuruni tangannya. Sesaat keduanya sama-sama diam dan hanya bersitatap. Ekspresi wajah Ken tak menunjukkan kesakitan, justru dia menyeringai kecil.

Thanks for the pain, it makes me feel alive.

Tanpa diduga, Arian menggerakkan tubuhnya begitu tiba-tiba sehingga Ken tak bisa menghindar. Sekarang bilah pedang itu ada di depan leher Ken, siap mengoyak. Di belakang tubuh Ken, berdiri Arian. Satu tangan Arian yang lain mengikat kedua tangan Ken erat-erat. Arian memposisikan tubuhnya sedemikian rupa sehingga kecil kemungkinan Ken untuk melepaskan diri.

You have to kill me.

Just give it to me. I let you alive.

“Aku lelah menanggung dosa, Ar. Mereka berhak menikmati hidup, Ar, meskipun tak begitu menyenangkan bagi mereka.”

“Tidakkah kamu merasa kasihan melihat orang-orang itu menderita? Kamu di sini, di dalam sini. Dalam balutan kenyamanan yang kamu bisa nikmati sesuka hati. Kamu tidak melihat apa yang sesungguhnya terjadi di luar, Ken. You’re afraid. Aku takkan membunuhmu. Kamu bisa membunuh dirimu sendiri untuk yang kedua kali. You are afraid to die, Ken.”

Aku ingin memejamkan mata melihat adegan tersebut. Tetapi kedua mataku malah melotot lebar. Melihat ujung pedang itu perlahan menyentuh leher Ken. Arian tak akan mungkin membunuh Ken. Tak akan mungkin.

“Aku bisa merasakannya, Ar. Ujung pedang itu di tepi leherku. Just cut my throat, and everything will ends.

Arian melempar tubuh Ken ke depan hingga Ken jatuh terjerembap dan membentur pinggiran pagar beranda. Buku di tangannya ikut jatuh, lembarannya terbuka. Sebuah pistol. Ken sudah mengukir lubang di antara tebal buku tersebut untuk menyimpan pistol.

Moncong pistol itu terarah pada Arian.

“Kamu takkan membunuhku, Ken. Itu berdosa.”

Ken menutup matanya. Ia sudah membunuh hampir seluruh populasi warga semenajung eks kawasan Asia Timur, Jepang serta Malaya. menggunakan wabah penyakit menular kreasinya. Sehingga sekarang kawasan tersebut ditutup dan dikuasai Iris, untuk diteliti lebih lanjut dan Iris pun bisa dengan leluasa menambang Catalysidium—sebuah mineral untuk sumber energi yang hanya terkandung di perut Gunung Fuji—demi keperluan ilmu pengetahuan serta tujuan mereka.

Dor!

Disusul bunyi pecahan kaca. Peluru itu meleset dan mengenai kaca depan rumah. Arian memanfaatkan momen itu dengan memasukkan kembali samurainya ke dalam tas panjangnya dan mengambil sebuah pistol.

I’ll kill you.

Ken berdiri terhuyung.

Oh, you couldn’t,” ejek Arian sembari menodongkan ujung pistolnya lurus ke kepala Ken. “Tell me first, I’ll kill you later. As you wish, brother.

“Semua ada di dalam buku ini.” Ken mengakhiri kata-katanya dengan menarik pelatuk pistolnya.

Aku ingin menjerit.

Peluru tak diduga itu mengenai telapak tangan Arian. Yang langsung dibalas dengan tembakan bertubi-tubi ke arah Ken. Aku yang berada di dekat Arian tak luput menjadi serangan. Kulihat saat runcing peluru itu, menuju ke arahku. Di mataku masih terlintas bagaimana tubuh Ken merosot jatuh. Darah membanjir dari lubang-lubang yang dibuat peluru-peluru itu di kulit halusnya. Aku tak bisa memejamkan mata, bahkan tak bisa berteriak ketika ujung peluru itu menembus tubuhku. Suara yang begitu keras menyambangiku, mengiringiku meledak menjadi berkeping-keping. Dan aku jatuh dalam ratusan pecahan ke lantai. Bersama dengan air yang tadi belum seluruhnya dihabiskan Ken. Kami melayang di udara, kemudian dalam beberapa detik menghujam dan tersebar di lantai kayu, tubuh Ken dan lembaran buku yang terbuka.

Air melelehkan tinta yang membentuk aksara di lembar buku itu. Aku tersenyum. Tinta itu membanjir ke luar, seperti Ken yang berdarah. Ken dengan pandangan redupnya, menyeringai kecil ketika Arian meraih buku dengan tangannya yang terluka. Kulihat merah darah yang dinodai gelapnya tinta. Tinta yang ditulis oleh Ken menggunakan racun buruan Iris.

In the end, we die together.

Bogor, 16111

*The heliopause is the theoretical boundary where the Sun's solar wind is stopped by the interstellar medium; where the solar wind's strength is no longer great enough to push back the stellar winds of the surrounding stars. Voyager 1 is expected to cross the heliopause by 2014. The crossing of the heliopause should be signaled by a sharp drop in the temperature of charged particles

Read More..

Rabu, 16 Februari 2011

Original Soundtrack for Writing

Setiap saya nulis sesuatu, satu hal yang paling awal saya lakukan adalah memilik beberapa lagu yang diharapkan bisa membentuk dan mempertahankan mood. Dan buat saya ini adalah salah satu tekhnik paling ampuh untuk menjaga feel saat menulis. Menurut saya, hal ini penting, karena kita kan gak mungkin terus-terusan menulis di waktu yang sama. Pasti ada aja jeda dan gangguan, nah kalo gak punya mood keeper atau mood booster bisa berabe tuh. Bisa-bisa harus baca dari awal lagi buat dapetin mood-nya. Capek banget kan kalau ternyata yang ditulis itu adalah novel yang notabene halamannya gak cuma 5 – 20 halaman. 

Bagusnya lagi kalau kita punya lagu pengiring saat nulis sesuatu yaitu saat revisi. Misalnya nih, setelah naskah begitu lama kamu endapkan, terus kamu baca lagi as ordinary reader dan ternyata nemuin beberapa hal yang perlu direvisi—lagu pengiring temen kamu nulis itu akan lebih mudah menggiring kamu masuk lagi dalam emosi cerita tersebut. Hal itu terjadi sama saya, ketika beberapa hari belakangan saya harus merevisi sebuah naskah yang saya tulis setahun yang lalu. Wow. Lagi deh, saya buka playlist si draft yang masih tersimpan apik di iTunes (untung saja….) dan mulai menulis. Dalam beberapa waktu dengerin lagu + baca naskahnya, feel ceritanya langsung dapet lagi. Hahaha…. Jadi, bisa lancar nulis revisinya. :D

Oh ya, beberapa pengalaman saya memilih lagu pengiring biasanya tergantung cerita sih. Kalo ceritanya mellow ya pilih yang mellow. Kalo dramatis ya pilih lagi yang dramatis, sesuaikan dengan kondisi atau yang cukup menyayat hati. Untuk adegan romantic atau sedih pilihlah lagu yang mellow, lantunannya mendayu perih, diiringi piano atau gitar. Kalau adegan happy ya pilihlah lagu yang riang missal lagunya Lenka, Wali, Serieus, etc. Kalau adegan marah, emosi meledak-ledak, cari lagu yang rock atau rap yang angsty kayak Linkin Park, Eminem, My Chemcal Romance, de el el. Yaaa… pastinya udah pada ngerti deh ya…. Jadi, perbanyaklah koleksi lagu di playlist kamu. Jangan terpaku ama genre atau penyanyi yang kamu sukai aja. It will help you much to establish emotion at scene that you write.

Contohnya… waktu nulis Postcards saya dengerin lagu-lagu Linkin Park versi live dari berbagai tempat. Wehehehe….

So, lagu pengiring dalam menulis itu penting!

Read More..

Minggu, 13 Februari 2011

Postcards

Postcards

 “Selamat ulang tahun, Kanina!”

Lengkingan nyaring terlontar dari dua kepala yang bergoyang itu. Disusul lantunan lagu ‘Happy Birthday to You’ yang terdengar seperti versi Chipmunk. Figurine itu terus menganggukkan kepalannya laksana penari India, yah, ehm, lebih mirip dengan hiasan kepala goyang yang biasa diletakkan pada dasbor mobil. Mungkin kamu pikir aku punya kendaraan sebagai teman sehari-hariku menjalani hidup, tapi ternyata kamu salah. Sebab sepasang figurine itu hanya terpajang manis di meja kamarku.

Deburan napas dari lorong hidungku mengisi sepi setelah lagu itu usai. Terdengar kelontangan kaleng yang dibuka paksa. Padahal umur kaleng bekas wadah biskuit itu belumlah genap setahun, tapi sudah sulit dibuka. Kotak harta karunku.

Warna-warni menyambangi mataku saat kutatap isi kotak itu. Tumpukan rapi kartu pos mengisi setengah bagian kaleng. Diurutkan berdasarkan tanggal dikirimkan, dari tanggal terdekat sampai yang sudah bertahun lewat. Jari-jemariku meraup lembar-lembar kartu pos itu.

Bertanggal 7 November 2010, Puerta de Alcalá atau Gerbang Puerta di Madrid kala malam hari berlilit rangkaian lampu mini.

 

Happy birthday, Kanina. Wish you were here.

Madrid, 7-11-2010

Kenji

 

Fantasiku mengepakkan sayapnya dan menempatkan aku di hadapanmu, di bawah salah satu lengkung gerbang itu. Raut wajahmu berubah karena tarikan otot yang membentuk bulan sabit di sana. Tatapanku menanjak, beranjak lambat mendaki wajahmu. Gunungan bibirmu, puncak hidungmu, lembah matamu dan helaian rambut di atas dahimu. Seperti itukah dirimu?

Kelopak mataku mengerjap cepat. Semua imaji membubarkan diri. Kuamati lagi potret gerbang tua itu, leretan sinar memenuhi sekitarnya, Jalan Alcalá. Momen itu terbekukan di lembar kertas ini, tapi tidak dirimu.

Makanya, aku selalu mencoba menanyakan pertanyaan itu padamu, ‘kapan kamu datang padaku, Kenji?’.

Pandanganku merangkak pada kalender meja yang terletak di samping figurine pemberianmu. Kini hari sudah menapak di awal Februari, sebentar lagi ulang tahunmu, 11 Februari. Apa yang bisa kuberikan untuk membalas hadiah ulang tahun darimu itu? Kurasa kamu sudah punya apapun. Akan tetapi, bukan itu sesungguhnya yang jadi masalah karena intinya adalah kalaupun aku sudah mendapatkan sebongkah hadiah untukmu, ke mana itu harus kuberikan?

Kepadamu tentunya.

 

I’m at Itu, Sao Paulo, Brazil now. This place name comes from the Tupi language, meaning big waterfall. Smile for me. :)

Sao Paulo, 11-10-2010

Kenji 

 

Octávio Frias de Oliveira Bridge di kala malam, dikalungi cemerlang pelita. Cantik. Kukerjapkan mata, sekilas aku mendaratkan bayanganku pada titik tempat foto itu diambil—sebuah gedung tinggi, mungkin, aku tak tahu pasti. Sejumput udara meluncur dari kedua lubang hidungku. Sekali lagi, pandanganku merambah foto secuil kota Sao Paulo di atas kartu pos itu. Bibirku melengkungkan senyuman. Kubalik kertas itu, merayapi satu persatu alfabet yang diukir dengan tinta hitam itu. Kenji.

This is smile for you.

Beruntung sekali aku mengenalmu Kenji. Lewat kartu pos yang senantiasa kamu kirimkan, tak pernah gagal membuat pikiranku diam di sini. Seolah-olah kamu tahu jika aku terjebak di tempat yang sama.

Seembus napas menderu dari lorong hidungku. Pertemuan kita tak disengaja. Aku sehari-hari berteman akrab dengan dunia maya dan dialah yang memperkenalkan kita. Lewat sebuah blog yangmembahas tentang fotografi. Awalnya karena aku menanyakan tentang sebuah teknik padamu. Selanjutnya lewat personal message dan email kita saling bertukar kabar. Hanya itu. Sampai suatu hari kamu menanyakan pekerjaanku. Kamu menemukanku. Semudah itu, karena pusat penyelamatan satwa ini memang bukan tempat yang ada di mana-mana. Hanya ada beberapa di Indonesia.

Lokasi tempatku bekerja memang jauh dari pusat kota, butuh 3-4 jam untuk sampai ke kompleks hutan dan penyelamatan satwa ini. Mungkin, masalah aksesibilitas inilah yang sampai hati membuatmu menyebutku ‘terjebak’. Padahal, sesungguhnya kamu tahu benar kalau aku bekerja di sini dengan hati riang gembira. Terlebih, setelah kamu setiap beberapa waktu sekali dalam sebulan mengunjungiku lewat kartu posmu.

Tentu saja aku ingin membalasnya dengan kartu pos juga. Bandung, Jakarta, Bali, Yogyakarta, Lombok, Padang, Bunaken, Komodo, ahhh… banyak tempat yang ingin kuperlihatkan padamu. Ini Indonesia. Tak kalah dengan belahan benua lain yang pernah kamu pijakkan kaki. Sayangnya, satu-satunya alamat yang aku miliki hanyalah alamat surat elektronikmu.

Bisa saja aku mengirimkan kartu pos digital lewat email. Akan tetapi, kurasa itu tidak sopan mengingat lembar demi lembar kartu pos yang sudah kamu kirimkan. Tak sepadan. Seperti berhutang nyawa yang harus dibayarkan dengan nyawa. Mata untuk mata. Lex talionis. Law of retribution. Jadi, kartu pos untuk kartu pos.

tbc....


Siapakah Kenji? Apakah Kanina akan bertemu Kenji? Apakah Kanina berhasil mengirimkan kartu pos kepada Kenji? Tenang, akhirnya happy ending kok. :)

Yang penasaran lanjutannya, silakan order ke NulisBuku.Com. Cerpen ini ada di buku 20 atau kumpulan best story-nya #happywriting. Pemesanan buku-buku E-Love Story ini dapat melalui email, kirim ke writers4indonesia@gmail.com. Harga buku @Rp 45.000,- (Belum termasuk ongkos kirim)
Format Email-nya seperti ini:
Subject: Order E-Love Story
Isi:
nama penerima:....
Alamat lengkap: ….
nomor telepon: …
Harga buku : ….
jumlah buku: ….

Pesan yang banyakkk yaaa :)

Read More..

Morning story (lupa episode berapa...)

Morning story (lupa episode berapa...) 

Udah lama banget saya gak update blog saya. Hari ini update ah. Bagi2 sedikit cataan dan euphoria….

Baru sehari lalu saya dapet kejutan. Oh Februari memang penuh kejutan. Loves this month of love. J. Kaget? Jelas saya kaget. Enggak nyangka ‘Postcards’ saya diapresiasi sebegitu besar. Trims nulisbuku, para juri dan teman-teman peserta #happywriting e-love story lainnya.

Di sini mau sedikit berbagi cerita dibalik kisah ‘Postcards’ saja. Ada yang mau baca? Cerita ini istimewa. Tentu saja, semua cerita yang saya bikin selalu saya anggap istimewa walaupun enggak sempurna. Alkisah, ide cerita ini didapat ketika membaca persyaratan sebuah kontes menulis dengan setting luar negeri. Hmmm… otak saya langsung berputar dan berpikir, ‘ini tantangan karena saya belum pernah menulis dengan setting luar negeri.’ Ditambah dengan persyaratan dari menulis #happywriting, makin menjadilah idenya. Tapi, masih juga bingung, apa uniknya cerita ini? Apa bedanya cerita ini dengan cerita dunia maya lain?

Seperti yang banyak kita tahu, cerita dunia maya mayoritas berkisah tentang dua orang saling mengenal tanpa tahu latar belakang masing-masing, bertemu dan blarrrr… jadian deh atau ternyata soulmate. Begitu-begitu saja. Hahaha…. Tiga hari untuk sebuah cerpen itu terlalu lama buat saya, karena saya mikirin endingnya harus gimana? Happy ending? Pasti. Akan tetapi, bagaimana happy ending itu bisa berakhir menarik dan dilanjutkan sendiri oleh pembaca. Saya ingin pembaca yang menentukan akhirnya. Seperti kata mas Adhitya Mulya kemarin, happy ending tidak harus akhirnya yang berakhir bahagia, tapi bisa disuntikkan saja rasa bahagia di dalam sana. Itulah yang saya pilih. Karena, jujur saja, hampir cerita-cerita yang pernah saya buat berkhir galau atau tragis. Saya adalah angst lovers! Hahaha….

Untuk cerita ini, saya juga mendapatkan influence dari famous band rock favorit saya. Tahulah… apa…. Gak sengaja ketika sedang browsing foto-foto konser mereka. Mata dan pikiran saya terpaku pada sejumlah kota-kota yang mereka kunjungin. That was interesting…. J

Kesulitan lain yang saya temui adalah sewaktu saya memilih POV orang pertama (Aku) untuk cerita ini. Ini POV yang cukup sulit, karena selain sudah lama gak menulis dengan POV ini, POV ini juga menuntut saya bertahan sebagai ‘pemain’. Saat kita menulis sebuah cerita, dengan senang hati kita akan bertindak sebagai ‘Sutradara’ yang tahu semuanya. Nah, di POV orang pertama ini, kita harus memainkan dua karakter, ‘Pemain’ dan ‘Sutradara’. Jadi, jelas lebih sulit daripada POV orang ketiga yang bisa meleburkan ‘Pemain’ dan ‘Sutradara’ jadi satu. Ini yang kadang-kadang belum ditangkap oleh penulis pemula. Mereka kira dengan karakter ‘Aku’ semua bisa diwujudkan. Sesungguhnya, menggunakan karakter ‘Aku’ membatasi diri kita sendiri untuk bercerita banyak hal.

Coba bayangkan, karakter ‘Aku’ tidak mungkin tahu pikiran lawan mainnya. Padahal, di kepala kita, kita tuh tahu semuanyyaaa…. Si lawan main itu mau beradegan apa, ngomong apa, sampai pikiran di dalam kepalanya. Tapi, ketika menggunakan POV orang pertama itu gak boleh—HARAM—disampaikan. Ya, jelas dong, memangnya kamu bisa tahu pikiran orang lain? Of course not! Kita melihat lewat mata ‘Aku’, kita bertingkah laku menggunakan tubuh dan sikap ‘Aku’. Jadi, kita DILARANG SOK TAHU apa yang terjadi dengan karakter lain. Ini kesalahan yang sering ditemukan ketika menggunakan POV orang pertama dalam sebuah cerita : SOK TAHU YANG TERJADI DENGAN KARAKTER LAIN. Hahaha…. Udah ngerti kah? Hehehe….

Ini yang sering orang-orang lupaaaa….

POV orang pertama adalah yang paling susah kata seorang editor kepada saya. Tapi, jangan menyerah. Terus belajar—membaca dan menulis—akan menuntaskan masalah yang mungkin muncul.

Lainnya, ketika menggunakan POV ‘Aku’, penulis sering merepetisi ‘Aku’ sebagai kata pertama di awal kalimat. Pernah saya membaca tulisan, satu paragraph awal kalimatnya diawali ‘Aku’ semua. Honestly, itu gak menarik. Kamu memang menceritakan diri kamu sendiri, tapi ini bukan bahasa lisan… yang jika kamu mengulang ‘Aku’ setiap awal kalimat tidak terdengar membosankan. Ini bahasa tulisan, pembaca bisa mengulang-ulang kalimat sesuka dia. Dengan tidak mengulang kata yang sama di awal kalimat akan membuat cerita kamu menarik dan tidak kelihatan membosankan. Hal ini harus dilatih terus menerus dan disisipin banyak membaca biar memperbanyak kosakata kamu.

Semoga bermanfaat.

Read More..