Rabu, 16 Maret 2011

Kamu, Rasa dan Cinta


Kamu sekotak talenta

Laksana Apollo alam fana

Dipadu laras nada

Berkidung tanpa lepas lembutnya

Cumbu jemarimu bersama bilah piano

Dawai yang tergelitik di kali lain

Dalam padu irama perkasa

Pernyataan rasa...


Kamu secawan inpirasi

Terulas warna

Reka garis dan tokoh imaji

Kanvas mengabadikan corakmu

Vanitas hingga kupu-kupu kertas

Pun tercerita oleh kata

Langgam jelita rima ciptamu

Terlisan dari bibir-bibir manusia

Pernyataan cinta...

Read More..

Sabtu, 12 Maret 2011

Doa

Dri, minta doanya ya. Sirene udah dibunyikan.

Dua kalimat dalam satu pesan pendek itu telah menembus ruang dan waktu untuk mengabariku. Jantungku mencelos ketika mengangkat ponselku dan menghubungkan ke nomor pembawa pesan itu. Serasa berenang dalam kegelisahan, padahal aku berdiri diam. Pendar cahaya televisi mengisi sebagian ruangan yang tampak redup karena jam tayang matahari sudah hampir usai. Suara pembaca berita masuk dalam telingaku saat jeda senyap antara bunyi ‘tuut’.


Dadaku mengembang ketika kumasukkan lebih banyak udara di sana. Seakan persediaan oksigen menyusut habis karena harus berebut dengan gunung berapi yang sedang batuk. MERAPI MELETUS. Itu rangkaian aksara kapital di layar televisi. Kali ini hatiku membeku. Siaran langsung evakuasi warga di lereng Merapi. Jelas terlihat wajah-wajah panik dan ketakutan, beberapa malah berleleran air mata dengan ponsel di tangan. Seperti aku sekarang, mereka sedang mencari keluarga yang terpisah. Aku sedang menunggu seseorang mengangkat teleponku.

Reporter itu masih bicara dengan latar belakang jalan raya Kaliurang yang sangat kukenal, mataku melotot melihat transformasi warna pakaiannya yang tadinya cerah menjadi abu-abu. Pundaknya bersaput debu vulkanik. Sekilas kamera menyorot ke udara dan melayanglah beramai-ramai para abu di bawah temaram lampu jalan.

Ya Tuhan, angkat teleponnya!

Padahal aku bukan sedang menelepon Tuhan. Reno. Dari pesan singkat itu, aku yakin dia ada di lokasi kejadian saat ini. Dia belum mengangkat teleponku. Aku ingin bicara padanya, aku butuh mengetahui bagaimana kondisi di tempat itu sekarang.

Bunyi ‘tuut’ berhenti. Sambungan terputus. Aku mengulang lagi telepon itu. Berdiri memeluk diri sendiri, memandang sendu warna-warni iklan yang sedang menggantikan berita yang ada. Kutarik napas panjang lagi.

“Halo.”

Suara familiar itu menyapaku ramah, meskipun terdengar sedikit kecemasan di dalamnya.

“Ren, gimana di sana?” berondongku cepat.

“Ini baru selesai evakuasi. Tapi masih ada beberapa orang yang nekat nunggu di atas, Dri. Aku akan balik lagi ke Kinahrejo sama beberapa relawan dan wartawan untuk bujuk mereka turun, Dri.”

Aku membisu sesaat. Nama lokasi yang barusan Reno sebutkan langsung terpeta jelas di kepalaku. Tempat yang beberapa bulan lalu sempat kukunjungi bersama Reno.

“Doakan kami ya, Dri. Sekarang di sini kondisinya sedang panik.”

Lidahku kelu. Aku ingin berada di sana. Sungguh.

“Aku segera berangkat. Nanti aku kabari lagi, Dri.”

Perutku serasa bergejolak. Layar televisi sudah kembali bersama pembaca berita yang memberi tahu bawa letusan tadi barulah fase pertama. Di perkirakan masih ada kelanjutannya. Semua warga diharuskan turun ke barak pengungsian.

“Dri,” panggil Reno.

Aku berhenti mengamati berita, “ya, Ren.”

“Doakan aku ya,” pintanya pelan dalam intonasi lembut seperti yang dia sering gunakan padaku dulu. Aku menelan ludah.

“Me-memangnya gak apa-apa balik ke atas lagi, Ren? Berita bilang itu daerah bahaya,” kataku dengan nada khawatir yang tidak bisa kusembunyikan. Letak desa tersebut tidak jauh dari Kaliadem, yang pada tahun 2006 habis disapu awan panas, bisa bayangkan bagaimana rawannya desa itu kan? Kugigit bibirku, habis sudah kata-kata untuk membujuk Reno agar tidak pergi. Entah mengapa perasaanku tidak nyaman dengan semua ini.

“Dri, kalau bukan kami siapa lagi yang mau membujuk mereka turun? Warga desa itu kan partnerku dalam menjaga tanah ini. Lagipula, Merapi tidak sedang marah, cuma batuk-batuk empat-lima tahunan seperti biasa. Setelah semua ini berakhir, sisanya adalah berkah untuk kami. Yang sekarang kelabu nantinya akan hijau subur kembali. Selalu ada harapan, yang penting kita tak lupa berdoa dan berusaha. Tuhan selalu tahu yang kita butuhkan dan berikan yang terbaik. Hidupku ada di sini…tanah yang kupijak dan kujaga setiap hari, Dri. Aku akan jaga diriku, Dri. Jangan khawatir.”

Kudenguskan napas bergetar, Reno mencium ketakutanku. Akan tetapi, dia tetap dengan keras hatinya, aku maklum karena Reno memang bekerja di TN Gunung Merapi dan sudah tugasnya untuk menjaga kawasan itu. Hening menghanyutkan kami dalam beberapa detik. Sungguh, aku tidak ingin pembicaraan singkat itu berakhir. Lebih seksama aku mendengarkan, riuh rendah suara yang menjadi latar Reno bicara. Pada jenak itu juga kudengar seseorang memanggilnya, meskipun lirih bisa kudengar ajakan orang itu pada Reno untuk segera ke atas karena malam sudah segera datang.

“Dri―”

“Aku sudah terima paket dari kamu,” potongku cepat.

“Sudah dibuka?”

Aku menggeleng pelan lalu menyambungnya dengan jawaban, “belum.”

“Buka. Kalau kamu tunda-tunda, nanti kadaluarsa lho,” kelakarnya.

Bibirku sedikit tertarik, membentuk senyuman mendengar candaannya itu.

“Dri, aku pergi dulu ya. Sampaikan salamku untuk Naufal. Doakan kami.”

Kalimat itu memupuskan senyumku, namun dengan cepat aku meresponnya. “Hati―” sambungan telepon itu terputus, “-hati.” Kuteruskan sendiri kata-kata itu dalam gumaman pelan, namun serasa berubah menjadi gema di ruangan aku berada sekarang.

Aku terduduk. Reporter masih berkicau, di belakangnya tampak pengungsi berjejal di barak, lalu kamera berpindah memperlihatkan jalanan penuh kendaraan yang berpacu menuju ke lokasi lebih aman. Kesunyian menyergapku. Reporter dan penyiar berita dalam satu layar itu seolah bicara tanpa suara.

Pikirku terbang ke tempat itu, Kinahrejo, Kaliurang dan kawasan sekitar lereng Merapi lainnya. Jalanan yang pernah kupijak, tanah yang pernah kudatangi, saksi bisu perjalanan pendekku. Tempat kutemukan jawaban atas sepotong rinduku. Tempat kutinggalkan satu fragmen hatiku. Ya, ketika kamu pernah meninggalkan sekeping hatimu di sana. Maka, dengan senang hati kamu akan menganggap tempat itu selayaknya rumah, tempat yang selalu kamu kenang dan rindukan. Alasan itu dan segala serakan kenangan di sana bisa menjadi benang merah atas kacaunya perasaanku dengan kondisi Merapi yang memanas.

Kesekian kalinya aku mengisi paru-paruku dengan udara yang mendingin. Meletakkan ponsel di atas meja dan beranjak dari televisi yang kubiarkan menyala. Tampilan berita digantikan suara adzan magrib. Giliranku bicara pada Tuhan, berdoa untuk mereka yang terkena bencana, untuk Reno.

Seusai solat, aku menghidupkan lampu-lampu di rumah sepi ini. Terangnya cahaya lampu, gemerlap furnitur, gelegar musik, selalu bisa mengusir sepi, tapi tak pernah bisa menghapus sunyinya hati yang sendu. Menyeduh segelas teh hangat. Mengambil kotak kecil bersampul coklat dari dalam tas kerjaku di dalam kamar. Paket dari Reno yang menyambangi meja kerja di kantorku siang tadi.

Bersama laptop-ku, aku membawa paket itu keluar. Berniat membukanya di depan televisi sembari meneruskan memantau berita tentang Merapi. Aku duduk, televisi masih memutar berita kondisi Merapi terkini. Kupandangi paket itu, teringat, bahkan aku belum sempat berterimakasih untuk paket itu. Kuraih ponselku lagi, ujung jariku sudah hampir menyentuh layar yang menampilkan nomor kontak Reno.

Kurasa dia sekarang sedang sibuk. Terlebih dalam kondisi terburu-buru dan panik seperti itu mungkin dia tidak akan menerima telepon dariku. Aku pun mengurungkan niat untuk menghubungi Reno. Kulirik paket itu. Kuletakkan ponselku lagi.

Perlahan aku menyobek kertas pembungkusnya. Sebuah CD dan kartu ucapan sederhana. Masih sepuluh hari lagi sebelum ulang tahunku. Kalau ini sebuah hadiah ulang tahun, maka ini datang terlalu awal.

Dear, Adrianna.
Selamat ulang tahun. Doaku tak berubah, semoga kamu selalu bahagia dan mendapatkan hal-hal yang kamu impikan. Meskipun kado ini datang terlalu awal. Semoga kamu tetap berkenan menerimanya dan menyukainya.

Reno.

PS: CD ini berisi sebuah lagu untukmu. Sebuah cerita tentang pencarian atas jawaban rindumu padaku beberapa waktu lalu. Sesungguhnya aku bahagia saat kamu kembali. Namun, ada banyak hal yang tidak bisa diperbaiki seperti sedia kala. Ini yang terbaik. Selamat untukmu dan Naufal, semoga kalian berbahagia selalu. Aku turut bahagia untukmu.


Bergegas aku menyalakan laptop-ku. Kumatikan suara televisi. Setelah laptop-ku siap digunakan aku segera memasukkan CD itu. Jantungku berdetak keras ketika aku mencari file lagu tersebut. Dan berdegup makin kencang saat intro lagu itu, nada-nada dalam petikan gitar, dimulai.

Yang kucari hanya jawaban sepotong rindu
Yang terbawa oleh pundakmu dan tertiup angin
Ku mendamba hangat cinta yang masih menyala
Serpihan kisah cinta kita
Sepuluh tahun lalu, berdua…


Aku terpaku. Kata demi kata menuntunku ke beberapa bulan yang lalu. Kupejamkan mataku. Potongan gambar silih berganti mengisi ingatanku. Reno. Rindu. Aku menyandarkan tubuhku pada punggung sofa. Kulipat kedua kakiku di depan dada, kutaruh tanganku di atas kedua lututku. Terakhir kurebahkan kepalaku di sana.

Masih tercetak jelas dalam ingatanku, perjalanan kecilku itu. Aku mengembangkan harap dan mendaraskan doa dalam hati, agar Reno mau memaafkanku dan menerimaku kembali. Kaki-kaki kecilku ini sampai menjejak di puncak Merapi untuk itu. Bisa kukenang semua itu dengan mudah, Reno yang selalu ada, yang selalu tahu. Kami menghabiskan banyak waktu di sekitar Merapi, mengamati Elang di Kinahrejo, memandangi puncak Merapi padi hari dari teras rumah di Selo, berlari di bawah hujan di antara tegakan pinus Kalikuning, mengunjungi desa wisata Ngablak untuk makan salak sepuasnya serta menembus kabut Gunung Bibi. Aku mengikuti dan mengejarnya demi kata ‘maaf’.

Lantunan vokal dan suara gitar itu membelitku dengan pita-pita kenangan.

Kucari dan selalu kucari
Arti dari cinta yang selalu kudamba
Kutunggu dan selalu kutunggu
Takut terlupa raut wajahmu

Pada akhirnya dia memaafkanku. Hanya saja hal yang sudah retak dan pecah tak bisa diperbaiki lagi. Namun hidup harus terus berjalan, masa lalu harus direlakan karena di depan selalu ada harapan yang akan kembali menghadiahi bahagia.

Kusadari benakku yang bergejolak. Dingin tanganku menjalar ke pipiku. Pandanganku mulai memburam. Sepanjang lagu ini aku menarik napas panjang lebih banyak dibandingkan dengan saat menonton berita tadi.

Ingin ku menangis saat hujan turun
Agar tertutupi semua lemah diri
Hooooo…
Bila nanti kita tlah bertemu
Menatap matamu sungguh aku tak mampu
Dan ketika aku pun menangis
Berharap kau akan memelukku…


Bulir air mulai merangsek keluar dari pelupuk mataku. Lalu kurasakan gerakannya di permukaan wajahku. Tidak seperti hujan yang senang hati menghapus jejak. Titik air ini laksana pisau yang merobek lagi kotak-kotak tempat memori-memori sudah kusimpan rapi. Potongan-potongan momen itu buyar, menghujan di dalam hati. Aku menangis tanpa suara.

Kubiarkan diriku tenggelam bersama kenangan yang membanjir. Air mata meleleh mengikuti tarikan gravitasi, mengalir melembapkan kulitku. Aku ingat. Dia, Reno yang dulu kucintai. Kebersamaan yang pernah kurajut dengannya. Mimpi-mimpi yang pernah kami rangkai. Aku ingat sudut-sudut wajahnya saat tersenyum padaku. Cara dia menyentuhku. Nada bicara dan suaranya yang merdu.

Aku kembali terisak. Dada ini terasa sesak.

Ini yang terbaik.

Kalimat dari kartu ucapan yang ditulisnya itu terngiang di telingaku. Ini yang terbaik. Aku menahan napas, mencegah isakan kembali keluar. Sekali lagi kata-kata itu terngiang. Aku menghapus sisa air yang menempel di pipiku. Kutegakkan kepalaku, yang entah mengapa, bergerak sendiri menoleh ke salah satu sisi dinding. Ini yang terbaik.

Di sana ada aku dan Naufal. Kami yang bahagia dan saling mencintai.

Yang terbaik dari semuanya.

Sejenak aku memilih didekap sunyi. Sesekali deru napasku mengarungi hening yang memekat. Tangisku sudah berhenti. Gelora dalam dada mereda. Denyut jantungku yang kembali teratur. Aku seperti baru saja dibangunkan dari mimpi.

Tak ada yang lebih baik dari pada ini.

Kuambil ponsel di atas meja. Kulirik jam yang berada di pojok layar. Nyatanya aku menangis cukup lama, sekarang bahkan sudah lewat pukul sembilan malam. Tanganku yang lain meraih cangkir teh. Kuminum sedikit teh yang sudah mendingin itu, rasanya hambar.

Cangkir teh itu sudah kembali berdiri di atas meja. Kuhentikan lagu dari Reno, yang sudah terputar puluhan kali sejak tadi. Menggantinya dengan koleksi musik yang kiranya tak menumbuhkan haru biru kembali. Malam semakin larut. Aku masih tergugu di depan televisi, di tengah hentakan musik rock dan di ramainya jejaring sosial malam ini. Sekali lagi aku memandang ponselku. Tak ada pesan, tak ada telepon. Aku baru ingat kalau belum mengunci pintu dan jendela-jendela. Naufal sedang berada di Kalimantan sekarang, tanpa sinyal, tak bisa dihubungi, padahal aku ingin dia di sisiku sekarang.

Aku berdiri dengan ponsel masih dalam genggaman. Televisi sepertinya sudah menyiarkan acara yang berbeda-beda sejak tadi. Aku sudah hampir melangkah dari hadapan televisi saat breaking news dimulai. Aku diam, mendengarkan suara pembaca berita yang mengabarkan bahwa ada beberapa orang yang terjebak di sekitar tempat tinggal juru kunci gunung Merapi, Mbah Maridjan. Hingga saat berita itu diturunkan korban-korban tersebut belum dapat dievakuasi dan belum diketahui keadaannya.

Hatiku berdesir. Kakiku kembali gemetaran. Kuarahkan tatapanku melalui jendela yang tirainya belum kututup. Langit tidak gelap. Jakarta tak punya langit yang hitam kelam. Warnanya sedikit merah karena pantulan cahaya jutaan lampu yang menerangi malam Jakarta. Hal itu membuat bintang enggan muncul. Padahal aku mencoba menemukan bintangku. Bintang terang yang pernah kulihat bersama Reno di langit Merapi.

Aku akan jaga diriku, Dri.

Suaranya menggema dalam pikirku. Breaking news itu sudah lewat. Aku berlalu dari depan televisi, menuju jendela. Lalu kembali mematung, menatap langit sebentar. Sekarang mataku terpancang pada layar ponselku. Permukaan layar itu terasa begitu licin ketika aku menyentuhnya. Beberapa kali aku salah mengetikkan huruf. Semua karena air mata sudah menggenangi kembali mataku. Tampilan layar yang katanya terbaik itupun tak bisa melawan kuasa air mata yang mengaburkan pandanganku.

Ren, terimakasih atas kado ulang tahunnya. Aku senang kamu masih mengingat ulang tahunku. Semoga kamu baik-baik saja di sana. Aku berdoa untuk keselamatanmu. Aku tunggu kabarmu. Hati-hati.

Selesai mengirim pesan tersebut, mataku masih tertumbuk pada layar ponselku. Pesan itu terkirim tapi belum sampai. Aku was-was. Aku pun bergegas menutup tirai jendela dan semua bagian rumah yang perlu dikunci. Kulakukan itu sembari mengusap air mata yang berkali-kali melesak keluar. Kemudian aku buru-buru duduk kembali di depan televisi, menunggu kabar terbaru.

Kuteguk lagi teh yang sudah dingin itu, tapi rasanya tenggorokanku tetap kering. Tak lama breaking news kembali lagi. Sekarang dengan berita langsung evakuasi korban yang ada di sekitar Kinahrejo.

Aku mengigil.

Terlihat abu di mana-mana. Tebal seperti selimut. Aku masih mengenang jelas saat aku datang ke sana. Pohon-pohon yang menghijau di sekitar dusun. Penduduk yang berjalan memanggul rumput. Langit biru dan angin menyegarkan.

Pandanganku sekarang hanya menangkap sebuah desa mati. Kulihat hanya batang-batang layu dan kelabu. Rumah-rumah yang hancur. Meski hanya lewat layar televisi, aku bisa merasakan cekaman ketakutan. Gelap yang mencekik. Hasil karya wedhus gembel yang numpang lewat tadi.

Reno, kamu di mana?

Aku di sini dengan sebuncah harapan dan segenggam doa untukmu.

***

Pesan itu tak akan pernah sampai. Namun doa ini akan selalu menyertaimu. Aku bangun pagi ini dengan sejumlah pesan singkat dan televisi bercerita padaku. Mereka menemukanmu subuh tadi, dalam keadaan bersujud dan tertutup abu.

***

When my time comes/
Forget the wrong that I’ve done/
Help me leave behind some/Reasons to be missed
Don’t resent me/When you feeling empty/
Keep me in your memory/Leave out all the rest

(Leave Out All the Rest – Linkin Park)


Bogor dalam pagi sendu, 27 Oktober 2010
Sepotong Rindu, lirik dan musik oleh Arga Pandiwijaya.
Duka sedalam-dalamnya untuk bumi Yogyakarta dan Mentawai. Kepada saudara-saudara di sana, semoga Tuhan menguatkan hati kalian. Kami di sini dengan segenggam doa dan harapan.
Gue gak tahu kenapa mesti nyelipin lirik dari Linkin Park di cerita ini. Gue cuma suka kata-kata ‘Keep me in your memory…’ . It’s like Reno said that through the CD’s which he gave to Adrianna.





Read More..

Senin, 07 Maret 2011

Send your wishes!

Dear all, kembali lagi dan ketemu lagi di proyek bersama NulisBuku!

Surat untuk jodohku di masa depan!

Proyek ini boleh diikuti siapa saja yang belum menikah. Sesuai judul proyeknya, yang harus kamu lakukan untuk bergabung di proyek ini adalah menulis sebuah surat. Surat untuk jodohmu di masa depan. Tuliskan harapan-harapan, keinginan, impian, curhatan, apa pun.  Okelah, biar enggak bertele-tele langsung aja ke syarat-syaratnya yah! :)

1. BELUM MENIKAH!!!! (yang sudah nikah sorry ya :p)

2. Gak boleh mengandung unsur SARA dan PORNO yaaa!!!

3. Surat diketik dengan spasi 1, font Times New Roman ukuran 12. Maksimal 7 (tujuh) lembar template Nulisbuku, belum punya? download di sini templatenya. Sertakan file surat sebagai attachment (doc., docx.) dan beri nama file Judul-Namamu.

4. Batas akhir pengiriman surat tanggal 9 Maret 2011, pukul 24.00 WIB

5. Kirim surat kalian ke suratuntukjodohku@yahoo.co.id dengan format subject: judul#idtwitter (kalau punya, kalau enggak pakai nama aja yah). Jangan lupa cantumkan identitas kalian: nama lengkap, email, id twitter--kalau punya (di body email dan di bagian bawah naskah).

6. Jangan lupa dikasih judul ya suratnya. :)

7. 1 orang hanya boleh ngirim 1 surat yaaaa... (masa mau jodohnya di masa depan banyak, kan jodoh cukup satu :p)

Semua surat yang masuk nantinya akan dibukukan dan diterbitkan lewat NulisBuku.com. Info lebih lengkap tentang NulisBuku ada di sini.

Proyek ini tanpa royalti. Nantinya buku akan dijual seharga ongkos produksinya. Nih, jadi tebal satu buku sekitar 175 halaman dan kertasnya adalah jenis kertas novel. Terus kita hitung deh pakai kalkulator-nya nulisbuku ... base price-nya Rp. 35875,-. Ya, segitulah harga bukunya.  Jadi, proyek ini adalah proyek bersama, dari dan untuk kita. :)

Untuk info-info lebih lanjut tentang proyek ini bisa follow @nulisbuku dan @adit_adit (koorpro).

Jangan kelamaan berkhayal tentang jodoh masa depanmu. Tulis tulis tulis! Sebelum menulis jangan lupa berdoa agar semua yang ditulis bisa jadi kenyataan. Mari mulai menulis!

Read More..

Selasa, 01 Maret 2011

Angels of Autumn

Sebuah cerpen yang tidak jadi diikutkan lomba. Lomba yang insiratif dari grup Heart and Soul Writing Community karena setting, prolog dan epilognya sudah ditentukan oleh panitia. Mungkin di antara kalian ada yang 'wah kok gitu lombanya, membatasi inspirasi dong'. Hmm, banyak sih saya baca komen begitu di sana. Tapi coba deh pikir lagi, bukankah itu membuat kalian jadi berimajinasi lebih tinggi. Harus berusaha kerja mengolah dan menyajikan apa yang ada di tengah cerita. Itu gak mudah. Jadi, saya merasa tertantang gitu, eh ternyata lumayan sulit juga karena saya nyelesaiin cerpen ini sampai lima hari dan hasilnya ya seperti ini. Salut buat mereka. Happy reading.

Angels of Autumn

Central Park, 14 September 2010

Menjelang sore.

Lizzy tersentak dari lamunan ketika sehelai daun maple berwarna kemerahan jatuh menimpa keningnya. Musim gugur tahun ini seolah datang terlalu cepat. Langit di atasnya masih membiru cerah dan bernoda kilau matahari. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis kecil menggesek biolanya memainkan Ode to Joy Beethoven di hadapan seorang lelaki tua berambut perak. Lizzy sudah sering melihat mereka namun selalu iri melihat kehangatan yang terpancar di mata kakek dan cucu itu. Mereka sama sekali tak terusik oleh musim gugur yang menyelinap diam-diam di balik dedaunan mapel.

Tentu saja, sudah satu pekan ini Lizzy mendatangi taman ini, setiap pagi dan sore hari. Ketika sore merangkak gadis kecil dan kakek itu akan datang ke bangku favorit mereka. Si kakek duduk tekun dan gadis kecil itu dengan penuh kepercayaan diri akan mulai memainkan Ode to Joy Beethoven. Merah dan jingga terlukis di tiap sudut taman. Bayu menderu dengan senang hati, menyapa pepohonan untuk menaburkan daun-daun maple ke lantai taman. Lizzy menggosok kedua tangannya, mencoba menciptakan kehangatan sendiri.

Kemudian, tangan Lizzy meraih lagi buku sketsa yang tadi diletakkan di sampingnya. Bola matanya beralih dari gadis kecil dan kakek itu kepada patung Angels of Waters di tengah air mancur Teras Bethesda. Seolah bulan sabit terbit di wajahnya, air mukanya berubah cerah. Lizzy menggerakkan pensilnya di atas kertas gambar.

“Sayang, kita harus membuat janji bertemu lagi di sini ya, Dylan…,” gumamnya sembari menambah dan memperjelas guratan demi guratan. “Padahal, kita kan membuat janji di City of Angels.

LAX, 14 September 2002

Air mata merambah wajah Lizzy. Pelukan itu makin mengerat. Telinga Lizzy menangkap embusan napas panjang yang sejak tadi dikeluarkan Dylan. Seluruh tubuh Lizzy seolah direkati pemberat, membuatnya enggan beranjak. Akan tetapi, sudah waktunya untuk Lizzy masuk ke ruang tunggu sebelum pesawatnya berangkat.

Masih dalam kondisi kacau setelah peristiwa 11 September yang baru beberapa hari lewat. Kejadian itu menciptakan suasana suram dan kelabu musim gugur tahun ini. Meskipun Lizzy berada di pantai barat, tetap saja dampaknya terasa. Terlebih karena masa studinya di Pasadena Art Center College of Design sudah usai sehingga beasiswanya habis, ditambah dengan permintaan orang tuanya yang meminta Lizzy segera pulang.

Tubuh Lizzy terdorong dan terguncang sekaligus. Tangan besar milik Dylan berada di kedua bahu Lizzy. Lizzy mengangkat wajah. Air mata menenggelamkan pandangannya. Sosok sahabat dekatnya itu terlihat samar, namun Lizzy yakin jika wajah itu melengkungkan senyuman.

“Kamu bisa datang ke sini lagi, Lizzy. Kapan pun. Jangan sedih.”

Ingin Lizzy membalas kalimat Dylan, tetapi yang keluar dari tenggorokan Lizzy malah suara sesenggukan. Apa yang dikatakan Dylan tidak mengandung cela, tapi mereka berdua tahu jika kondisi finansial Lizzy di tanah air bukanlah termasuk golongan kaya raya. Di Pasadena, dia kuliah karena mendapatkan santunan beasiswa.

“Kita bertemu lagi…hmmm….”

“Ketika Linkin Park mengeluarkan album ke-4-nya,” sambung Lizzy sembari mengusap sisa air di matanya. Lizzy tahu jawabannya karena sebelumnya mereka sudah pernah mendiskusikan itu sebagai bahan candaan.

“Ya.” Dylan menepuk lembut bahu Lizzy. “Aku harap mereka mengeluarkannya ketika musim gugur.”

“Mengapa lama sekali? Bagaimana kalau ternyata sebelum itu mereka bubar?! Bagaimana jika mereka mengeluarkan album ke-4-nya dua puluh tahun lagi?!” protes Lizzy sambil merenggut bagian depan jaket Dylan. Bibir Lizzy mengerucut.

Dylan nyengir lebar. “Kita lihat saja nanti. Kalau kelamaan kita todong aja senior kita itu untuk buru-buru bikin album,” kelakar Dylan.

Lizzy mendenguskan napas sambil menghentak cengkeramannya. “Mana dia ingat sama kita. Mungkin waktu itu dia sudah jadi rock star.”

Dua personil dari band tersebut memang satu kampus dengan Lizzy dan Dylan.. Lizzy dan Dylan dari awal sudah mengikuti tur mereka karena Lizzy dan Dylan percaya sekali bahwa mereka akan jadi bintang besar suatu hari nanti. Untuk hal ini, Dylan dengan senang hati mengeluarkan sedikit dari isi kantongnya untuk membiayai perjalanannya dan Lizzy.

Dengan lembut Dylan menyingkirkan tangan Lizzy dari dadanya. “Sekarang juga sudah.”

“Iya ya.” Lizzy melipat tangannya ke dada. Satu napas pendek menderu dari hidung Lizzy. “I have to go.”

You just have to believe, Lizzy.”

Mereka saling bersitatap.

I always believe in you….

Pasadena, September 1998

Gugup masih merambati hati Lizzy sampai bulan kedua ia menjalani kuliah di salah satu kampus desain bergengsi itu. Bakat melukisnya mengantarkannya pada seorang dermawan pecinta seni yang kemudian membiayainya untuk menuntut ilmu di California. Jadi, selain rasa tak percaya diri, perasaan lain yang lahir dalam benaknya adalah gentar jika nanti dia tidak bisa mengikuti kehidupan di kampus dan tanah asing ini. Sendirian, ia merasa tak aman. Pada saat itu, ia belumlah akrab dengan Dylan.

Semua dimulai ketika musim gugur pertama Lizzy di Pasadena. Usai kelasnya bubar, Lizzy tetap tinggal di ruang kelas dan mulai menggambar. Daun-daun yang berdansa bersama angin memberinya inspirasi. Di tengah hujan daun musim gugur itu berdiri seorang malaikat, begitu fantasi yang diukir oleh pensil di jemarinya.

Angel of autumn.

Dylan melihat, diam-diam ikut duduk dan menggoreskan sketsanya sendiri. Gelombang keterkejutan melumuri Lizzy saat tahu ada orang lain di ruangan itu.

“Kamu percaya kalau malaikat bersayap?” Pertanyaan itu meluncur ketika tiba-tiba pemuda berambut warna ginger itu mendudukkan dirinya di bangku samping Lizzy.

“Ya, tentu.”

“Kalau dia aku bilang malaikat. Apakah kamu percaya?”

Dylan mendekatkan buku sketsanya dengan milik Lizzy. Terperanjat Lizzy menatap kedua gambar itu. Dengan latar yang sama, kedua gambar itu tersambung apik. Lizzy menggambarkan seorang dengan sayap di sisi kanan bukunya, sedangkan Dylan membuat sketsa seseorang yang berjongkok di tengah gambarnya. Seperti dalam satu sketsa. Laksana mereka memiliki pikiran yang saling terkoneksi.

Tatapan mereka saling bersilangan di udara. Seulas senyuman dilukiskan di wajah mereka. Diam di antara mereka pun langsung lumer setelah itu.

“Aku tidak tahu.”

“Kamu berada di City of Angels, Lizzy. Kamu bisa bertemu malaikat dalam berbagai versi. Siapa tahu kalau aku adalah malaikat. Atau mungkin malah kamu yang menyembunyikan identitasmu dariku, hey angel of autumn.”

Rona merah muda tak bisa Lizzy tahan untuk menyebar di seluruh wajahnya.

“Malam ini kamu punya acara?” Dylan menutup buku sketsanya dan memasukkannya dalam tas selempangnya.

Satu gelengannya muncul dari Lizzy.

“Bagaimana jika kamu ikut denganku?”

“Ke mana?” Gurat penasaran mengisi roman muka Lizzy. Bola mata Lizzy menyorot lurus pahatan wajah imut Dylan.

Tak ada balasan selain senyum dikulum dan genggaman Dylan yang hinggap di pergelangan tangan Lizzy. Tubuh Lizzy menyentak, terkejut dengan perlakuan Dylan padanya.

Meets some angels.”

Kerutan heran muncul di kening Lizzy.

Believe me, Lizzy.”

New York, Februari 2001

Malam ini mereka terdampar di tempat parkir sebuah restoran cepat saji setelah lelah bernyanyi dan ber-moshing pit ria di tengah konser Linkin Park. Awal Februari di New York masih menyisakan dingin yang mengigiti kulit.

Lelah, tapi letupan kegembiraan belum pupus dari wajah mereka. Sudah bermil-mil mereka tempuh, hanya untuk mengikuti pertunjukan demi pertunjukan grup band tersebut. Itu hanya satu dari segudang alasan mereka untuk berpergian keliling tanah Paman Sam. Mereka juga mencari objek patung malaikat untuk dilukis. Akan tetapi, alasan mendasarnya adalah Lizzy menemani Dylan melarikan diri—begitu yang selalu dikatakan Dylan tanpa Lizzy pernah mengerti apa maksudnya. Melarikan diri dari apa? Menurut Lizzy, Dylan tak perlu lari dari apapun, ia punya semua dalam hidupnya.

Sempurna. Satu kata yang akan Lizzy ucapkan saat harus mengomentari Dylan. Tampan, pandai, keluarga yang harmonis, dan prestasi yang membanggakan. Setelah itu, Dylan akan menambahkan satu lagi poin, sahabat terbaik yang selalu ada di sampingnya, Lizzy. Ya, Dylan sendiri mengakui jika dirinya lengkap—perfecto.

Dylan menyukai kesempurnaannya dan tak ingin ada orang yang merusaknya. Malam itu Lizzy tahu dan mengerti apa sesungguhnya makna melarikan diri yang Dylan maksudkan.

“Apa ini?” tanya Lizzy penuh kecurigaan.

Bukan jawaban yang keluar dari mulut Dylan tapi gerakan cepat tangan Dylan yang hendak merenggut plastik kecil berisi bubuk putih itu. “Nothing.” Akan tetapi, Dylan tidak berhasil merebutnya dari tangan Lizzy.

Mata Lizzy mendelik marah. Dirinya bukan anak kecil yang mengira itu hanya bubuk bedak tabur biasa. Lizzy tahu apa itu.

“Kembalikan padaku, Lizzy.”

Lizzy membuka pintu van dan membantingnya keras. Melangkahkan kakinya yang terasa berat menuju kotak sampah di dekat bangunan restoran. Udara dingin membekap paru-parunya. Sekitar wajahnya terasa mengigil, namun di pelupuk matanya kebekuan itu terhenti. Di sana berkumpul air matanya.

Benda di tangannya itu dibantingnya ke dalam kotak sampah. Tak ada suara yang muncul, tapi malah bunyi gesekan sepatu keds dengan aspal dari arah belakangnya.

“Lizzy,” panggil Dylan dengan nada khawatir.

Kepala Lizzy tertunduk. Air matanya jatuh satu-satu.

“Lizzy.”

Tubuh Dylan berkelebat, tahu-tahu sudah merengkuh Lizzy dalam dekapannya.

I’m sorry.

Bagaimana bisa Lizzy memaafkan drinya sendiri? Celah apa yang Lizzy buat sampai-sampai Dylan bisa mendapatkan barang-barang terlarang itu? Apakah dirinya kurang perhatian kepada Dylan?

I NEVER use that things, Lizzy. it’s Dave. He gave me days before.

Berleleran air mata di sekitar wajah Lizzy. Sesenggukannya terlalu keras hingga ia sulit bicara.

You have to believe me, Lizzy.

Tangan Dylan bergerak, menyapu dengan lembut air mata di pipi Lizzy dan mengecup keningnya.

You should believe me, Lizzy. My life’s just so perfect. I dont want someone mess up my life.

I won’t do that, D.

I know, you won’t. But, other maybe will do. Maybe, before it happens. I should ruined my life by myself.

Freak.

So keep me perfect, Lizzy....

Lizzy mengangkat kepalanya. Pandangannya bertumbukan dengan gelap bola mata Dylan.

Would move your things to my apartement after we arrive at Pasadena?

Jakarta, 20 Agustus 2009

From : Dylan Wilkinson

To : Lizzy Anastasia

Subject : Glorious Excess

Dear Lizzy,

Autumn has come, Lizzy. Mike Shinoda’s Glorious Excess will be held on August 29th, would you come with me there Lizzy? Okay? Okay? Please come back to city of angels. I miss you so much.

Sincerely yours,

Dylan.

Nwe York, 9 September 2002

Sorak-sorai kegembiraan show masih hinggap di telinga mereka. Lengkingan vokal Chester Bennington dan rapping dari Mike Shinoda yang bersahutan menyanyikan lagu Papercut masih terngiang jelas dalam kepala mereka. Senandung kecil dari mulut Dylan dan Lizzy pun tak terelakkan.

Lizzy tak pernah menghitung ini kali keberapa ia menginjakkan kaki ke Big Apple. Pertengahan musim gugur, tapi untungnya malam ini hujan tidak turun. Dylan mengajak Lizzy untuk mampir ke Central Park. Jari-jemari Dylan memeluk erat pergelangan tangan Lizzy. Genggaman itu terlepas ketika mereka sampai di teras Bethesda.

Angel of water at night,” ucapnya pelan.

Dylan menurunkan ranselnya. Mengangsurkan buku sketsa milik Lizzy. Lalu memberi isyarat pada Lizzy untuk mengikutinya. Di sebuah bangku panjang, Dylan langsung mendudukkan dirinya dan langsung menggambar tanpa sepatah kata terucap lagi dari bibir merahnya. Seraut senyuman muncul di bibir Lizzy saat dia ikut duduk dan mulai menggerakkan pensilnya di atas kertas gambar.

They’re perfect ya?” gumam Lizzy tiba-tiba.

Of course, their shows was always great and perfect. I wish i could see them until their fourth, fifth and so on....

Kemudian, keduanya saling mengangkat wajah dan bertukar pandangan.

With you.

Lizzy menghela napas panjang. “I wish.

It’s okay.

If we have to separated. I think when they forth album will be good moment for us to meet again.

Freak.

“Yeah,” sahut Dylan pendek sembari tertawa. “You’re more freak than me because you wanna be friend with me.

Buku sketsa Lizzy pun menjadi alat ganti cambuk untuk menyabet Dylan yang terbahak keras.

Hey, hey, don’t break this book. Because I will save this one for me. And you will save mine,” katanya sambil menangkap tangan Lizzy dan merebut buku sketsa itu dari tangan Lizzy.

Seolah ada plester yang ditempelkan di bibir Lizzy. Seketika ia diam dan memandangi Dylan yang menatapi gambar setengah jadi Angel of Water milik Lizzy.

Why?

You’ll fill this book with your sketchs. I’ll do with this one.” Dylan memberikan buku sketsa miliknya pada Lizzy. Sedangkan milik Lizzy dimasukkan ke dalam ranselnya.

Let’s go back. Its freezing here.” Tahu-tahu Dylan sudah berdiri di depan Lizzy. Belum sempat Lizzy membuka buku sketsa tersebut Dylan sudah menariknya beranjak dari sana.

Jakarta, 29 Agustus 2010

From : Dylan Wilkinson

To : Lizzy Anastasia

Subject : NYC

Lizzy, remember the promise we made 8 years ago at LAX? I got two tickets to heaven. I’ll meet you on Bethesda Terrace, Central Park at afternoon, September 14th. Okay? You should come here. I miss you.

Sincerely yours,

Dylan.

Gerak pensil Lizzy terhenti. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Lantunan Ode to Joy Beethoven masih merdu mengalun. Ulangan adegan di LAX delapan tahun lalu itu seperti menghadirkan satu gema langkah dalam kepalanya. Derap langkah yang diakrabi telinga Lizzy selama tiga setengah tahun menjejak di koridor dan halaman kampus Pasadena Art Center College of Design.

Kepala Lizzy berayun ke kanan dan kiri, mencari-cari sosok yang dikenalnya itu. Alih-alih Dylan yang hadir, malah sosok gadis dan kakeknya itu yang tertangkap tatapannya. Kedunya tersenyum pada Lizzy dan memberikan anggukan bersahabat.

Kepindahan itu tentu tak pernah terjadi. Lizzy tahu diri. Apa yang akan dibilang keluarganya di Indonesia seandainya dia benar-benar tinggal satu apartemen dengan Dylan? Itu tidak mungkin. Maka dari itu, Lizzy berusaha membuat Dylan mengerti kondisinya. Akhirnya, Dylan pun bisa memaklumi.

Sama seperti undangan itu yang berlalu begitu saja. Pemintaan itu datang dua kali, ketika Mike Shinoda—anggota Linkin Park yang juga alumnus Pasadena Art Center and College—mengadakan pergelaran lukisannya, Glorious Excess di tahun 2008 dan 2009. Dylan meminta Lizzy untuk sejenak kembali ke Los Angeles agar bisa menemani Dylan menghadiri pembukaan pameran lukisan tersebut. Tentu Lizzy tidak menolak, akan tetapi urusan pekerjaan benar-benar mengikat kaki Lizzy di tanah Jakarta. Akhirnya, beberapa hari setelah pembukaan pameran lukisan tersebut, Lizzy menerima paket dari Dylan berisi buku katalog lukisan-lukisan yang dipamerkan plus tanda tangan si pelukis.

Sejak saat itu intensitas komunikasi mereka semakin berkurang, bukan berarti sebelumnya mereka lebih sering. Akan tetapi, setidaknya dua kali dalam sebulan mereka saling bertukar lewat email. Padahal, itu adalah masa-masa terberat Lizzy karena dia bercerai tak lama setelah kiriman kedua dari Dylan datang.

Lizzy menyesal. Tentu saja. Begitu menyesal.

Dari dalam tasnya, Lizzy mengeluarkan iPod-nya dan mulai mengulurkan earphone ke telinganya. Baru saja dia berbelanja banyak lagu dari iTunes Store, terutama bekalnya untuk malam ini. A Thousand Suns, album keempat dari Linkin Park. Bersamaan dimulainya track pertama, Lizzy membuka halaman awal dari buku sketsa di tangannya.

Sama sekali ia tak bisa menahan senyum di bibir. Lama Lizzy baru bisa menerima kenyataan ini. Delapan tahun. Ujung telujuk Lizzy menyentuh arsiran pensil itu. Malaikat dan musim gugur. Bukan hanya satu tapi dua sosok malaikat.

Lizzy terlonjak ketika ada tangan menyentuh bahunya. Kepala Lizzy beranjak ke belakang. Namun, sosok itu malah berpidah posisi duduk di samping Lizzy. Senyum familiar itu terkembang di wajah itu. Cengiran yang sama lebarnya memenuhi roman muka Lizzy. Sosok itu meraih satu bagian earphone Lizzy. Setelah earphone itu terpasang di telinga sosok itu, jelas sekali Lizzy bisa mendengar nyanyian pelannya.

And in a burst of light that blinded every angel
As if the sky had blown the heavens into stars
You felt the gravity of tempered grace
Falling into empty space
No one there to catch you in their arms
Iridescent. Serupa warna langit senja itu. Birunya berbaur dengan warna kekuningan sore.

“Terimakasih, sudah mau menunggu, Lizzy. Sedikit macet sebelum ke sini.”

Pria itu merogoh saku jaketnya. Dari dalam sana, pria itu mengeluarkan dua carik tiket. Pandangan Lizzy jelas menangkap tulisan cetak ‘Linkin Park A Thousand Suns’ di lembar itu. Konser pertama mereka setelah album keempat dilempar ke publik.

“Terimakasih, Dylan.”

Kembali pria itu sibuk dengan tas selempangnya. Lalu, tangan kekar pria itu menyodorkan buku sketsa.

“Kita menukarnya lagi.” Dylan melirik Lizzy. “Gambar itu masih menganggumu? Maafkan aku, Lizzy.”

Lizzy menolehkan kepalanya kepada Dylan. Menatapnya penuh perhatian. “Menurutmu?”

“Maafkan aku.”

“Seharusnya aku yang minta maaf. Aku tidak berhak marah. Mungkin itu caramu untuk mengacaukan hidup sempurnamu sendiri. Seharusnya aku percaya padamu.”

“Tidak, Lizzy. Kamu salah. Justru, dia menyempurnakan hidupku.”

“Aku ikut bahagia untukmu, Dylan.”

“Nanti aku kenalkan pada Brian, kekasihku itu ya? Mau kan?”

“Tentu. Kamu harus mengenalkan aku padanya, Dylan.”

Mereka berdua menatap ke lembar buku sketsa di pangkuan Lizzy. Lembaran itu berisi gambar yang dibuat Dylan malam itu di teras Bethesda. Kedua malaikat terlihat penuh romansa. Akan tetapi, jelas keduanya merupakan sosok lelaki. Lizzy menutup buku itu dan menyerahkannya pada Dylan sembari meraih buku dari tangan Dylan.

“Musim gugur selalu mengingatkanku padamu... angel...,” ucap Dylan tulus seraya menerima buku sketsa yang diberikan Lizzy.

“Musim gugur selalu mengingatkanku padamu, D.”

We’re angel of autumn,” ujar mereka berbarengan.

Di tengah sejuknya angin musim gugur Lizzy tersenyum. Tangannya mendekap buku sketsa milik Dylan di dadanya. Tak ada lagi penyesalan mengendap di hatinya. Musim gugur kali ini telah mengingatkannya pada hal terindah yang pernah dimilikinya.

Thanks, Dylan. You’re always gonna be my autumn.



Home sweet home, 1-5 Februari 2011

Read More..