Senin, 12 Juli 2010

Catatan Pagi (1)

Pertama, saya ingin mengucapkan selamat pada Spanyol yang sudah menjuarai gelaran World Cup 2010 setelah mengalahkan Belanda 1-0. Tentu saja, selamat yang kedua untuk Paul si Gurita untuk tebakannya yang kembali benar.

Sayangnya, semalam saya tidak ikut menikmati guliran bola dari kaki ke kaki dengan atmosfer menegangkan itu. Pulas saya tertidur, bahkan tanpa mimpi. Menyesal sih, sedikit.

Akan tetapi, saya tetap bisa menikmati final semalam, dengan cara yang berbeda tentunya. Lewat jejaring sosial. Ada beberapa teman yang sangat update sekali dengan status maupun tweets mereka. Seperti cara menonton sebagian besar pertandingan yang saya lakukan, akhirnya berimbas pula pada malam ini. Namun, saya tetap menikmatinya, seperti menonton pertandingan lewat tulisan dengan bermacam-macam sudut pandang. Mungkin kalau dikembangkan, cukup menjadi sebuah bahan novel.

Sesungguhnya, yang saya sesali bukanlah siapa yang memenangkan final semalam. Saya lebih menyesal melewatkan euforia pertandingan dan tentu saja kembang api di pesta penutupan. Dua hal yang hanya bisa dirasakan ketika sedang terjadi, dan saya yakin pasti beda sekali rasanya kalau menonton siaran ulang. Euforia menggebu-gebu yang melahirkan semangat, bahkan sampai tersisa pagi hari ketika bangun tidur. Saya tidak merasakan itu, padahal ingin sekali. Tunggu saja empat tahun lagi, hahaha...

Ya, siapapun yang menjadi juara, tidak masalah. Semua tim yang masuk dalam WC pantas dan punya kualitas untuk menjadi juara. Yang penting adalah prosesnya, bagaimana semua yang sudah terjadi bisa dijadikan pengalaman berharga untuk setiap tim. Begitu pula untuk kita, sebagai penonton dan penikmat, coba tanyakan pada diri kita, apa sih yang sudah didapatkan dari gelaran WC ini? Beruntunglah orang-orang yang merasa terhibur, tapi berbahagialah orang-orang yang bisa memetik pembelajaran dari even ini. Jangan sampai momen besar dunia yang hanya empat tahun sekali ini berlalu begitu saja, seperti angin, sisakan sedikit meski cuma setitik kenangan dalam hati.

Siapapun juaranya, World Cup memang sebuah even yang seharusnya dinikmati.


Read More..

Sabtu, 10 Juli 2010

Mendamba (Coming Soon)


Mendamba
Mencari Jawaban Untuk Sepotong Rindu

a novel by Aditia Yudis
editor by Christian Simamora
Published by GagasMedia

Ada persoalan yang belum tuntas di antara kita. Bukan, bukan dendam. Hanya tanda tanya besar mengapa kau meninggalkanku di saat aku paling membutuhkanmu. Aku marah, kesal, dan kecewa. Namun, semua itu tertutupi hangat cinta yang masih menyala-nyala dalam hatiku.

Setiap malam aku berdoa, suatu saat bisa mendengar suaramu lagi. Aku mendongakkan kepala ke langit, berharap kau melihat rembulan yang sama denganku. Kemudian aku menutup mata, takut waktu membuatku keburu melupakan raut wajahmu.
Sebut aku sentimentil, tapi aku sungguh merindukanmu.

Apa kau juga begitu?

Read More..

The Cover and Me



Cerita berawal dari malam tadi, ketika hujan hampir turun, petir pun sudah bolak-balik memberi peringatan. Disaat yang sama, tiba-tiba internet saya down dan berbunyilah 'tik', pertanda sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Dahi saya mengerut, nomor yang bukan saya kenal. Saya pikir, paling-paling adik kelas yang ingin meminjam peralatan praktikum lapang.

Saya terkesiap, ternyata bukan. Sebuah pesan dengan kata ASAP (as soon as possible), yang mengabarkan bahwa dia habis mengirimkan sebuah pesan elektronik ke saya. Saya kebingungan selama beberapa menit, dengan uang menipis, hujan yang hampir turun, internet yang down dan pesan ASAP. Saya pun memilih, meluncur pergi ke warnet yang sekarang letaknya hampir setengah kilometer dari rumah kos saya. Tak ada perjuangan yang mudah.

Dengan degup jantung dag-dig-dug saya menunggu email itu terbuka. Dan, yippie, saya tidak bisa menyembunyikan senyum dari wajah saya. Saya benar-benar tersenyum, saya sadar itulah rasanya bahagia sewaktu saya menemukan nama saya disana. Benar-benar nama saya :).

Kata bang Jeffri Fernando (saya panggil dia 'mas' di pesan singkat), karena settingnya di gunung, maka dipilihlah gambar tumbuhan yang romantis itu.

Kesan pertama saya melihat cover itu adalah sederhana dan melankolis banget. Lalu warna hijaunya, kesukaan saya. Lainnya adalah saya menemukan kesan ringan disana, ya memang novel itu bacaan ringan kan?

Overall, saya suka banget, khas GagasMedia sekali. Makasih banyak buat bang Jeffri Fernando dan bang Ino. 


Read More..

Jumat, 09 Juli 2010

Deadline Eats Me

Juli.

Juli saya dimulai dengan deadline, satu deadline yang membuat saya pontang-panting. 

Deadline ini bukan sembarang deadline. Alasan pertama mengapa saya bilang begitu adalah karena sudah lama (sekali) saya tidak bermain-main dengan si deadline ini. Semenjak tidak kuliah dan otomatis jadi pengacara (pengangguran sok banyak acara), rasanya si deadline sudah minggat jauh-jauh dari hidup saya. Dan jujur, saya suka dia pergi jauh dari hidup saya, meskipun hidup rasanya jadi tak sama lagi. 

Alasan kedua, tentu saja ini merupakan salah satu deadline paling penting dalam hidup saya. Mungkin inilah yang terpenting yang pernah saya catat dalam hidup saya. Menyangkut kredibilitas, profesionalitas dan mimpi saya. Yang terakhirlah yang paling saya beratkan, mimpi saya. Saat mimpi itu sudah diujung tangan, jangan sampai dia jatuh lagi.

Deadline yang membuat saya mengorbankan waktu tidur saya. Rela jauh-jauh dari kamar kos yang nyaman untuk mencari tempat buat menulis. Kadang membuat saya malas makan dan minum. Seringkali membuat saya sering telmi ketika diajak bicara orang lain. Pokoknya pikiran tersita dengan yang namanya deadline.

Jujur, saya menyukai deadline. Saya senang bekerja di bawah tekanan. Bermain-main dengan waktu, berkejar-kejaran dengan pekerjaan, dan memotivasi diri sendiri sampai ujung tanduk. Sungguh menyenangkan. 

Saya juga mengakui, kalau dalam keadaan kepepet maka seseorang bisa memberdayakan pikirannya lebih dari yang dia kira. Kadang-kadang ini benar, tapi buat saya itu cuma terjadi beberapa kali saja. Saya percaya, sesuatu bisa lebih baik jika dikerjakan dari jauh-jauh hari dan dieksplorasi sedetail mungkin. 

Jujur lagi, saya kangen deadline.

Read More..

Rabu, 23 Juni 2010

Pemimpi yang Latah

Pacar saya bilang saya latah.

Yap, hampir semua orang tahu apa itu latah. Di sekitar kita pun, saya yakin mudah sekali menemukan orang yang latah. Saya pun punya beberapa teman dan kerabat dari yang latahnya ringan sampai latahnya bicara kasar. Parahnya dulu, ketika SMA, latah itu jadi budaya bahkan yang tidak latah pun ikut-ikutan untuk latah.

Latah dapat muncul dalam beberapa macam bentuk antara lain pengulangan kata (echolalia). Diambil dari bahasa Yunani, ‘echo‘ berarti mengulang, dan ‘alia‘ yang berarti ‘babbling‘ atau percakapan tak bermakna. Contohnya saja orang latah yang sering mengucapkan ‘eh copot-copot’ saat panik. Latah yang seperti ini paling sering terjadi. Selain itu juga ada latah yang muncul dalam bentuk tindakan atau perbuatan.

Kenapa sih pacar saya sampai menuduh saya latah? Hmmm... Sekarang saya lagi demen-demennya belajar tentang Astronomi dan yang berkaitan dengan itu. Sampai-sampai pacar saya bilang, 'kamu jadi expert sekarang', waktu saya membuka obrolan tentang ruang angkasa. Eh, kemudian dia berceloteh, bertanya macam-macam dan bilang 'kamu itu latah, makanya pengen jadi semuanya, gak tahu mau jadi apa'. Mendengar komentar itu, saya diam sejenak, berpikir. Benar juga sih apa yang dia bilang.


Saya jadi ingat, belum lama kemarin sehabis membaca tentang prospek pekerjaan di bidang pertambangan (mining), saya langsung cerewet bicara padanya bakal mencari kerja di bidang mining selepas lulus nanti. Bahkan saya berangan-angan untuk kuliah pascasarjana Teknik Lingkungan agar mendapatkan jabatan sebagai Enviroment Engineer di perusahaan tambang.

Sebelum itu, saya gemar sekali dengan otomotif. Tanya saja pada saya 'mobil harga segini, jenis ini dan punya mesin segini, apa jenisnya?'. Wah saya tidak mau kalah dengan teman-teman lelaki saya, saya pun tahu jawabannya. Jelas. Bukan cuma merek, jenis dan harga, saya pun sampai belajar ke mesin-mesinnya dan tentu saja cakupan pemasaran dan konsumen. Hal ini menginspirasi saya untuk berangan-angan mengambil kuliah pascasarjana di bidang Bisnis atau Manajemen agar saya bisa melamar dan mendapatkan pekerjaan (behind desk) di Lexus Indonesia. (WARN : kalimat selanjutnya mungkin kalian anggap promosi, tapi saya sekali tidak berniat promosi, hanya mengemukakan alasan saja. :)) Mengapa Lexus? Pertama, saya adalah fangirl Lexus biarpun banyak masalah menerpa Toyota (Lexus masih satu keluarga besar dengan Toyota), saya tetap setia. Kedua, Lexus adalah merek premium, hanya dijual dan dibeli oleh orang-orang tertentu. Ketiga, gosipnya orang-orang behind desk Lexus minimal harus berkualifikasi S2. Keempat, siapa tahu saya dapat Lexus gratis (ngarep :D :D).

Jauh sebelum itu lagi, ya beda beberapa bulanlah. Saya punya cinta-cita menjadi seorang pengarang, penulis, editor dan copywriter sekaligus. Serakah sekali ya kelihatannya. Namun saya tahu, menulis adalah salah satu pekerjaan yang paling saya sukai di dunia ini. Saya juga merasa menulis adalah dunia saya. Saya menulis sejak SMA, sejak itu pula saya sudah terpikirkan untuk melanjutkan kuliah di bidang Sastra atau Jurnalistik. Dalam perjalanan, entah niat itu menguap kemana, atau karena waktu itu selulus SMA saya yang masih labil, saya melepaskan benar-benar kesempatan itu bahkan sama sekali tidak saya lirik. Saya lebih memilih bidang sains. Impian saya adalah menjadi seorang ahli bioteknologi dan kuliah di Fakultas Biologi UGM (cita-cita sejak berseragam biru putih). Saya mendapatkan itu dan saya melepaskannya.

Sekarang saya berada di Bogor di salah satu institut paling bagus a.k.a IPB. Berada di departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Salah satu jurusan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sama sekali. Namun saya pilih dipilihan pertama saya karena saya suka sekali jalan-jalan. Dan memang selama perkuliahan saya mengunjungi banyak tempat yang mustahil saya kunjungi kalau saya dulunya mengambil Sastra atau Biologi UGM.

Ya, lanjut ya curcolnya :D :D

Saya tetap menulis. Terus menulis setelah vakum hampir dua tahun. Saya mulai mengirimkan cerita-cerita pendek saya ke majalah, tapi gagal terus. Berkali-kali saya mengirim cerita pendek ke blog GagasMedia (salah satu penerbit favorit saya) tapi juga tak pernah ada kabar. Setelah bosan berkutat dengan cerita pendek saya mulai mencoba-coba untuk membuat novel. Draft novel kedua saya, yang saya selesaikan dalam waktu dua minggu akhirnya iseng saya kirim ke penerbit GagasMedia. Dan salah satu editornya sebulan yang lalu menghubungi saya (kelanjutannya tak perlu diceritakan).

Saya ingin jadi penulis. Saya bercita-cita menulis roman sains yang hebat seperti Supernova (Dee) dan karya-karya dari Dan Brown.

Oke saya berhenti curcol deh. Kembali ke topik.

Ya masih banyak kelatahan saya yang lain. Contohnya saat saya beres membaca buku Dan Brown, sumpah saya menyesal mengapa dulu saya tidak mengambil Biologi UGM saja. Saya ingin kerja di lab dan berjas putih! Rasanya keren sekali. Lalu gara-gara salah seorang sahabat saya bilang kalau saya ini sedikit feminis. Saya langsung mencari tentang feminisme dan ujungnya saya terpikir untuk meneruskan kuliah pascasarjana di Kajian Wanita UI.

Jadi apa benar saya latah? Saya rasa tidak. Penyebab latah diduga karena adanya kecemasan tersembunyi akibat perilaku dominan orang orang disekitarnya. Atau biasanya dianggap sebagai culture-specific syndrome (semacam gejala psikologis khusus, yang hanya ditemukan pada budaya tertentu)dan biasanya sering muncul di kalangan cewek dewasa (kalau di Indonesia sih yang latah kebanyakan nenek-nenek, ya).

Saya benar-benar tidak merasa latah. Saya hanya menyukai sesuatu lalu belajar dan ingin mengaplikasikan apa yang saya pelajari itu. Prinsip dalam hidup saya, saya akan mengerjakan dan bekerja dalam bidang yang saya sukai. Minimal dalam hidup saya nanti, pekerjaan jadi sesuatu yang menyenangkan bukan beban. Bekerjalah dengan hati, bekerjalah untuk menyenangkan hati.

sumber tentang Latah dari harian online Suara Merdeka (lupa edisi berapa)

Read More..

Selasa, 22 Juni 2010

Selalu

Selalu

(Aditia)

Hujan belum sepenuhnya berhenti. Awan-awan mendung masih berpesta pora di langit seolah-olah ingin menyebarkan kejutannya satu persatu. Angin mengalir, menguarkan bau tanah yang menyeruak sehabis hujan. Tak lupa pula merontokkan titik-titik air yang tersangkut di ujung dedaunan untuk bergabung dengan genangan air di sudut halte taman itu.
Disana duduk beberapa orang dengan satu hal yang sama dalam benak mereka. Menunggu. Satu menanti hujan reda dan sekarang bersiap untuk beranjak dari halte itu. Tinggalah dua orang lagi, seorang perempuan dan laki-laki. Duduk terpisah, tak saling mengenal. Itulah adanya. Hingga akhirnya sebuah bis kota berhenti di depan halte tersebut. Perempuan itu segera bergegas naik ke dalam bus. Namun digantikan oleh perempuan lain yang turun dari bus tergesa-gesa masih dengan menenteng payungnya yang berwarna hijau muda.
Mata laki-laki itu terpancang pada sosok perempuan di hadapannya itu. Sama sekali bola mata gelap itu tak beranjak dari perempuan itu turun hingga kini duduk di sampingnya. Semburat senyum tipis muncul dari bibir laki-laki itu melihat tingkah perempuan itu menyapanya dengan suaranya yang lucu, menurutnya.
"Elang," sapanya pelan.
Perempuan itu menghadapkan pergelangan tangannya tepat di depan matanya untuk melihat angka yang ditunjukkan jam tangan yang menghiasi tangannya itu. Mengelapnya sebentar karena beberapa bulir air yang menempel di permukaannya.
"Aku telat ya?" tanya perempuan itu lagi.
"Enggak kok," jawab Elang santai. "Lagian hujan, wajar aja kalo telat."
"Tapi ini kan Bogor, Lang. Kalau pakai alasan hujan untuk telat itu sungguh gak masuk akal!" balasnya sewot sambil mengecek isi tasnya yang juga basah.
Elang tertawa kecil mendengar pernyataan perempuan disampingnya itu. Benar memang yang dia bilang, ini Bogor, Bogor saja punya julukan Kota Hujan. Jadi seharusnya memang harus siap kapan saja hujan datang menghadang.
Perempuan ini, Anggrek, seorang yang selalu membuat hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang dan tingkahnya jadi tak karuan. Atau dengan kata lain, Anggrek adalah seorang yang telah membuatnya jatuh hati selama kurang lebih lima bulan belakangan ini. Wajahnya selalu hadir di benaknya, suaranya terus terngiang di telinganya. Ya, dia telah jatuh cinta, jatuh cinta.
Rasanya ingin melakukan segala hal untuknya. Memberi semua yang diinginkannya. Menemani dan menjaganya sepanjang waktu, tak terpisah meskipun sedetik pun. Berlebihan memang sepertinya, malah lebih mirip gombal rayu, tapi itu nyata. Persis seperti itu yang Elang rasakan.
Elang melirik Anggrek kembali. Bibirnya pucat, sepertinya dia agak kedinginan karena kehujanan tadi. Elang melepaskan jaketnya, menyerahkannya pada Anggrek tanpa harus menunggu Anggrek memintanya. Anggrek menatapnya, Elang tersenyum kembali.
"Boleh aku pakein?" tanya Elang tulus, berharap permintaannya diluluskan Anggrek.
Anggrek menggeleng dan meraih jaket itu dari tangan Elang, "Makasih, gak usah repot-repot, Lang." Bibirnya membentuk senyuman yang sudah Elang hafal benar-benar, balasan untuk kebaikan Elang baru saja.
"Kamu tahu, aku akan lakukan semua yang kamu minta. I'm yours," gumam Elang seraya memandang Anggrek dalam-dalam.
"Makasih, Lang. Gak perlu repot-repot buat aku," jawab Anggrek balas memandang Elang. Dan sekali lagi senyuman untuk Elang.
'Terimakasih' dan 'gak perlu repot', frase yang sama terucap dari mulut Anggrek selama lima bulan belakangan ini. Berulang kali, hingga Elang hafal intonasi pengucapannya. Sama banyaknya dengan Elang mengucapkan kalimat itu, mengungkapkan betapa sayang Elang pada Anggrek.
Perempuan ini menyukai kejutan-kejutan yang sering diberikannya. Membalas perhatiannya. Tak pernah segan untuk mengiyakan ajakannya nonton dan makan bersama. Tetapi mengapa tak juga jawaban itu meluncur dari mulutnya?
Elang membuang pandangannya ke arah halte di seberang jalan. Kosong. Begitu kosongkah harapannya saat ini? Sudah berkali-kali Elang mengungkapkannya, betapa ia mencintainya, betapa ingin dia menjadi kekasih hatinya. Anggrek meminta waktu dan ia memberinya. Detik demi detik, hari demi hari menjadi bulan demi bulan. Tak sabar sudah rasanya menunggu.
Yang terakhir. Elang memintanya penuh permohonan dan penuh pengibaan. Seperti biasa, Anggrek hanya tertawa-tawa menanggapinya, tersenyum, mengucapkan 'terimakasih' dan 'jangan repot-repot'. Elang terus mendesakknya hingga akhirnya Anggrek mengajukan satu syarat yang mudah buatnya. Anggrek memintanya untuk menulis sebuah cerita pendek yang mewakili isi hatinya. Jika isi hatinya benar-benar tergambar disana, Anggrek bilang dia akan lulus ujian terakhir.
"Lang, kamu punya minum?" ujar Anggrek memecah lamunan Elang.
Cepat-cepat Elang membuka tasnya dan mengulurkan sebuah botol minuman. Ketika Anggrek mengambil botol itu dari tangannya, jemari mereka saling bersentuhan. Desiran itu kembali muncul dalam benak Elang. Dari sentuhan kecil itu, Elang berharap Anggrek bisa mengerti seberapa besar perasaan Elang pada Anggrek. Mata Elang kembali mengarah pada wajah Anggrek.
"Makasih, Lang," katanya sambil membuka botol minum milik Elang.
Satu, dua, tiga. Hanya tiga tegukan hingga botol air itu turun kembali. Dengan pelan Anggrek menutup botol itu lagi.
"Gimana novel kamu? Bisa diterbitin?" Elang membuka percakapan antara mereka.
Anggrek melenguh. "Hari ini belum bisa ketemu editornya. Jadi mesti reschedule," ujarnya malas.
"Maaf ya hari ini aku gak bisa temenin kamu," sahut Elang cepat dan penuh rasa bersalah.
"Ih, gak apa-apa kali Lang. Kamu udah terlalu banyak nolong aku," kata Anggrek sambil tertawa kecil dan menepuk-tepuk bahu Elang.
"Kamu semangat ya. Pasti bisa. Lain kali aku janji nganterin deh, biar kamu gak perlu repot-repot naik kereta," ujar Elang.
"Tapi aku jadi ngerepotin kamu." Sekali lagi, tawa itu keluar dari mulut Anggrek. Elang ikut tersenyum bersemangat. "Makasih ya Lang, aku pasti bersemangat. Lebih dari empat bulan aku sisihkan untuk ngerjain novel itu, masa usahaku cuma berenti sampai disini."
Tak ada lagi tawa, keduanya hanya saling tersenyum dan menatap. Seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.
Mendengar penuturan Anggrek, Elang teringat cerita permintaan Anggrek yang telah diselesaikannya. Anggrek hanya memintanya dalam bentuk cerita pendek. Tetapi entah setan apa yang merasukinya, ketika Elang meletakkan jemarinya diatas keyboard komputernya, kata demi kata seperti berpesta. Membanjir dan terangkai cepat menjadi lantunan kalimat indah dan paragraf yang bercerita. Elang memang suka menulis, namun belum pernah mengarang sebuah cerita. Ini kali pertama. Saat Elang menyadari hasil kerjanya selama sebulan, cerita itu sudah mengisi lebih dari 150 halaman. Cukup untuk dibuat sebuah novel. Novel drama romantis yang menyedihkan dan menggetarkan hati. Menurutnya, semua itu dapat dilakukannya karena kekuatan dan keajaiban cinta.
Elang tersentak dan mengeluarkan novel buatannya itu dari dalam tas. Setiap detik sangat berharga. Semua ini akan menjadi muara dari penantiannya selama ini.
"Ini, yang kamu minta," Elang menyerahkan lembaran kertas bersampul dan berjilid rapi. "Maaf kalo acak-acakan begitu."
Anggrek terbelalak melihat naskah yang ada di tangan Elang. Matanya berbinar kagum. "Ini buatan kamu?!" katanya sambil merebut naskah itu.
Elang mengangguk puas.
"Aku cuma minta cerpen Lang. Ini, ini lebih dari cukup," ujar Anggrek bangga.
"Maaf kalo ceritanya kurang bagus. Aku udah berusaha," sahut Elang tersipu malu.
"Tenang aja. Masalah cerita, aku juga belum bisa menilai. Kan aku belum baca. Tapi amazing, kamu bisa bikin sebanyak ini dalam waktu sebulan!" serunya senang seraya memeluk naskah itu. Anggrek kelihatan begitu gembira sekali.
"Ya, itu khusus aku bikin buat kamu. Kalau buat kamu, semua juga akan aku lakukan," tambah Elang pelan.
"Makasih Lang."
Mereka pun sama-sama terdiam. Pikiran Elang kacau kembali, seberantakan detak jantungnya saat ini. Menanti, kapan jawaban itu akan terucap dari mulut Anggrek.
"Jadi-"
"Aku harus pul-"
Keduanya bicara bersamaan setelah sunyi antara mereka tadi. Kemudian saling membuang muka dan sedikit salah tingkah. Lalu mereka saling melihat kembali dan lagi-lagi membuka mulutnya bersamaan. Mereka sama-sama tertawa.
"Kamu duluan saja Lang," ucap Anggrek, tertawa lagi.
Elang gugup menyadari waktunya telah tiba. Semua sudah dilakukannya, apalagi yang membuat Anggrek tak bisa menjawab. "Jadi, gimana? Maukah kamu melengkapi separuh hidupku?"

***

Anggrek merasa mulutnya terkunci mendengar kalimat Elang barusan. Sudah berkali-kali, dalam berbagai versi Anggrek menerima kalimat itu dari Elang. Tetapi masih sama apa yang dirasakannya, desiran itu, apakah itu cinta. Anggrek tak berani mendefinisikannya. Anggrek tak sanggup menghadapi kenyataan yang ada. Terlalu takut untuk menyakiti.
Satu alasan lagi. Alasan terakhir. Anggrek merasa Elang memperhatikannya lekat-lekat. Matanya menumbuk naskah yang dipegangnya.
"A-aku, baca ini dulu boleh?" katanya terbata. "Kan aku belum tahu gimana kamu mendeskripsikan isi hati kamu disini."
Elang menepuk dahinya, "Oh iya. Bener juga. Sebenernya aku harap kamu baca disini dan bisa langsung jawab pertanyaan aku. Tapi berhubung, itu tebal dan kamu juga abis keujanan. Yaudah, gak apa-apa," jawab Elang yang membuat hati Anggrek sedikit lega itu.
"Aku pulang sekarang ya." Anggrek berdiri dari sikap duduknya barusan.
"Maaf gak bisa nganterin kamu. Habis ini aku harus ketemu dosenku. Maafin aku ya?"
"Iya, Elang. Gak apa-apa," jawab Anggrek meyakinkan Elang agar tidak khawatir.
Anggrek sudah maju tiga langkah dari halte, saat mendengar Elang memanggil namanya kembali. Anggrek menoleh dan menemukan Elang berdiri di belakangnya dengan sebuket bunga mawar putih. Lagi-lagi kejutan. Elang memang selalu penuh kejutan.
"Buat kamu. Sebagai tanda kalau aku memang tulus mencintai kamu," ujar Elang sambil memberikan buket bunga itu pada Anggrek. Dengan sukacita Anggrek menerima mawar putih itu. Wanginya membuat Anggrek tak tahan untuk mencium mawar itu lebih dekat.
"Terimakasih. Sekali lagi," ucap Anggrek lembut. Kemudian Anggrek berbalik dan mulai berjalan lagi. Baru satu langkah dibuatnya, ada yang menarik tasnya dari belakang. Anggrek menoleh lagi. Ada Elang yang menahan tasnya. "Apa lagi Lang?"
Elang melepaskan tangannya dan tersenyum sumringah. "Cuma mau bilang. Hati-hati. Aku sayang kamu."
Anggrek membalas senyuman itu, "Terimakasih Lang. Aku pulang sekarang."
Senyuman itu masih bertahan di bibirnya hingga langkah kelima. Tak lagi Elang menahannya untuk pergi. Anggrek mulai membuka naskah yang berjudul 'Selalu' itu. Sebentar dia berhenti di tepi jalan untuk menyebrang ke halte di sisi jalan yang lain karena bis menuju rumahnya memang lewat halte yang disana, bukan yang disini. Halte ini terletak di perempatan jalan, meski tidak begitu ramai, Anggrek tetap mengecek arah kanan dan kirinya sebelum menyebrang. Saat dirasa kosong, Anggrek berjalan kembali sambil membuka naskahnya pada sebuah lembar pengantar yang berisikan sebuah syair.

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal Hidup.
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam Cinta tak bermuara.
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara.

Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tiada pasti. Namun aku terus disini.
Mencintaimu.

Entah kenapa.

(Dewi Lestari - Supernova : Ksatria, Putri & Bintang Jatuh)


Syair kesukaan Anggrek. Yang buku milik Anggrek sudah lama hilang dan hanya samar-samar diingatnya. Disini, dengan jelas Elang mengutip itu untuknya. Mengungkapkan cintanya. Bahwa dia selalu ada disini. Mencintainya.
Anggrek merasa lega. Seulas senyum tercipta di wajahnya. Beban yang lama ditahannya dalam hati mendadak mencair dan lenyap. Dia tahu apa yang harus diberikannya pada laki-laki itu. Anggrek menoleh ke belakang dimana Elang berdiri tadi.
Tetapi Elang sudah tidak berada disana. Matanya menangkap sosok Elang yang menubruk tubuhnya. Dan sebuah mobil berkecepatan tinggi mengarah padanya, dekat sekali.
Kemudian, terdengar jeritannya sendiri, jeritan orang lain. Tubuhnya dan Elang terhempas keras ke lantai aspal yang basah. Rasa sakit menjalari tubuhnya, berawal dari kakinya hanya citra merah yang ditemukannya disekujur kakinya dan kaki Elang. Mawar putih itu berubah semerah darah. Selanjutnya gelap.

***

Putih. Lambang ketulusan dan kesucian. Tetapi banyak orang membenci putih yang ini. Bau obat menyeruak dimana-mana. Paramedis berlalu lalang, hilir mudik.
Seorang laki-laki muda berjuang mengayuh kursi rodanya. Beberapa orang memberi pandangan simpati padanya, usia muda, wajah tampan tapi dengan kaki yang tidak lengkap, kedua kakinya dari betis hingga telapak kaki harus diamputasi. Rasa simpatinya itu dibalas dengan seberkas senyum dan semangat yang tak pernah luntur darinya.
Perlahan tapi pasti, ia mencapai sebuah ruangan yang ditujunya. Perlahan diketuknya pintu itu, tak lama kemudian terdengar sebuah suara dari dalam yang mempersilahkannya untuk masuk. Laki-laki itu memutar kenop pintu penuh khidmat dan berusaha membuka pintu tanpa suara.
Hanya ada satu ranjang dalam kamar itu. Diatasnya seorang perempuan terbaring tepat di minggu keempatnya hari ini. Melihat siapa yang mengunjunginya, wajahnya bersinar cerah dengan senyum tersungging di bibirnya. Laki-laki itu membalas pandangan perempuan itu penuh suka cita, penuh cinta tak lagi peduli meskipun kaki perempuan sudah tak lengkap dari lutut ke bawah.

FIN

Rumah, 19 Agustus 2009 10.38-14.49
Kepada orang-orang tercinta dalam hidup saya. Jangan pernah menyia-siakan cinta yang diberikan padamu, karena cinta adalah sebentuk energi yang tak bisa diciptakan dan tak bisa dimusnahkan melainkan berubah bentuk. Berubah bentuk jadi apa, terserah cinta itu sendiri. Dan ini hanya sebuah cerita fiktif, bukan doa, bukan harapan.


Read More..

Forget Jakarta

Happy Birthday Jakarta, ini sedikit cerita untukmu :)

Forget Jakarta

Song and Lyrics by Adhitia Sofyan
Story by Adis Aditia

I'm waiting in line to get to where you are
Hope floats up high along the way

Sorotan lampu itu pecah berkeping-keping ketika menyentuh lantai bening berkeramik itu. Terpelanting, terpantul kemana-mana termasuk padamu. Serupa yang kamu lihat setiap malam. Disaat langit siap dengan gaun tidurnya dan menyalakan lampionnya sendiri, bulan dan gemintang.
Biasan cahaya itu membuatmu makin menawan, bahkan tanpa kerlip lampu itu pun semua orang sudah memicingkan matanya padamu. Iri! Begitu pula kawananmu, kau dilahirkan spesial. Karya agung para pemahat luar biasa di negeri seberang benua sana. Semua yang nomor satu.
Dulu, ketika kamu lahir dan baru dapat melihat dunia, rasa takut menderamu. Kamu yang istimewa, akankah menemukan teman yang baik diluar sana? Seseorang yang menyayangimu seperti sepenuh hati para pembuatmu. Kamu ingin menangis, namun tak mau. Kamu terlalu gentle untuk menangis.
Terbang dan berlayar, kamu menempuh perjalanan panjang dari negeri kandungmu kemari, tempat dimana kaki-kakimu sekarang menempel di atas lantai ubin yang dingin. Takjub. Itulah yang terpikir olehmu ketika dengan anggun turun dari kapal besar yang membawamu.
Sinar matahari yang terlalu terik, cuaca menyengat dan polusi. Lalu, mulai hari itu atau keesokan harinya, kamu akan ikut menyumbang salah satu dari hal itu, sebab kamu sudah resmi menjadi penghuni tanah ini. Padahal sebelumnya, dari bawah awan kamu melongok ke bawah, tersebar hijau berseling biru. Kamu berharap bisa disana, di tepiannya, pantai dan hutan yang bahkan belum pernah kamu lihat secara langsung.
Sayangnya, semua tidak seperti ekspektasimu. Memang hutan di sekitar rumahmu sekarang, tapi hutan beton. Sungguh lautan sekeliling gedung penuh cemerlang lampu ini ketika musim hujan tiba dan kamu hanya bisa termangu, tak bisa kemana-mana. Kamu membayangkan bagaimana rasanya berkubang air, tapi tak pernah dibiarkannya.

I forget Jakarta
All the friendly faces in disguise
This time, I'm closing down this fairytale

Di gedung ini, kamu bertemu kawananmu. Persis, meski tak serupa, tetapi sama istimewanya. Kamu berteman. Mereka yang lebih senior bercerita banyak tentang kota itu, dimana kamu akan jelajahi nanti. Tak terkesima, sebab lebih banyak kisah tak menyenangkannya dari mereka. Kecuali, tutur mereka tentang dia.
Dia, orang yang menganggap kamu dan kawananmu adalah anak-anaknya. Dia yang selalu lembut, tak pernah marah pada kalian. Dia memanjakan kalian, selalu memberikan nutrisi bergizi, merawat ke salon langganan, mengecek kesehatan pada dokter langganan sampai membayarkan biaya tinggal kalian yang tak sedikit. Dia tak pernah lupa untuk mengingatkan staf-stafnya untuk memperlakukan kalian sebaik mungkin, karena kamu dan kawananmu adalah anak-anaknya.
Semua menyukainya. Saat tiba waktu dia memilih salah satu dari kalian untuk berpergian, setelah itu akan ada cerita-cerita menarik. Kamu senang mendengar cerita itu, tapi lebih senang lagi jika dia yang mengajakmu berjalan berdua. Dia seorang perempuan yang begitu keibuan.
Disinilah kamu merasa beruntung, meskipun Jakarta tak pernah ramah padamu. Kemacetan, banjir, jalan berlubang, orang iseng hingga penjahat betulan. Mulanya kamu ketakutan, tapi dia selalu bisa menenangkanmu.
Hanya dia, penawar setelah melaksanakan tugas yang melelahkan seharian. Bisa jadi menyenangkan ketika bersama orang yang pengertian, tapi jika berjumpa orang yang tidak pedulian rasanya kamu diajak kerja rodi. Dia selalu menilik kamu atau yang lainnya setelah tugas kalian selesai, tentu saja sesudah kalian mandi dan wangi. Dia mengelus penuh kasih sayang, lalu duduk, menciumi aromamu. Kamu sendiri menikmati sepuas-puasnya ketika hanya berduaan seperti itu.
Hampir setiap malam dalam posisi yang sama. Menggelosor di lantai yang dingin berkawan MacBook Air yang begitu tipis hingga kamu ketakutan dia lupa lalu akan mendudukinya. Diiringi melodi favorit yang juga hampir tak berganti, Cayman Island, Adelaide Sky dan Forget Jakarta. Sampai-sampai kamu hafal liriknya, bukan cuma kamu tapi seisi ruangan itu juga.
Seringkali, di kala libur, dia mematikan seluruh penerangan seolah memohon agar sinar rembulan berkenan masuk lewat kaca diatas galeri. Kamu pun ikut berharap. Jakarta hampir tak menyisakan bintang untuk diajak bercakap-cakap, langitnya terlalu kelabu, kotanya sendiri terlalu benderang. Kamu mengamatinya setiap kali tak mendapat tugas malam, bermenit-menit dia mendongak laksana perempuan yang bersimpuh berdoa, tanpa lelah, mencari bintangnya, menghibur kamu dengan kicauannya sendiri. Tak jarang bibirnya melengkungkan senyum. Itu mempesona.
Kecantikannya memancar dari dalam, inner beauty, begitu yang kamu dengar dari media. Paling cantik dari yang pernah kau temui di jalanan, di televisi, di baliho. Seisi ruangan pun setuju.
Kesayangannya, bukan kamu, tapi si putih yang berotot itu. Entah mengapa dia menyukainya, padahal kamu jauh-jauh lebih tampan dan rupawan. Meskipun begitu bisa dihitung dengan jari kapan dia menghabiskan waktu dengan kamu atau si putih. Ada yang lain, yang selalu mendampinginya, yang selalu kamu tatap iri.
Meskipun begitu, kamu dan kawananmu mempercayainya. Dia yang terbaik. Tak ada takdir yang terbaik bagi kalian semua dibanding bertemu dengan dia. Bahkan kamu percaya, dia tak akan memisahkanmu jauh-jauh kecuali untuk tugas. Kamu akan disini selamanya, ini rumahmu. Kamu berharap begitu, setinggi hatimu bisa berangan-angan.

And I put all my heart to get to where you are
Maybe it's time to move away

Malam-malam terakhir ini, dia jarang terlihat duduk-duduk bersama kawananmu lagi. Tak tahu kemana kaki berbalut Christian Louboutin itu melangkah pergi. Senyap, itu malam-malam kalian, apalagi jika banyak diantara kawananmu yang harus menunaikan tugas. Hanya tawa canda petugas jaga yang menghibur kamu dan kawananmu. Kamu bosan. Kamu rindu. Kamu ingin memandangi matanya yang lucu, hidungnya yang mancung dan helaian rambut yang jatuh di sekitar wajahnya.
Hari sebelum kamu mendapatkan kabar itu, dua hari dua malam kamu tak pulang ke rumah. Kamu dibawa kabur! Dia kalang kabut mencarimu. Padahal, dia tahu kemana saja gerakmu karena terpantau GPS. Dia hanya ingin memastikan jika kamu tak tergores dan terluka sedikit pun. Lihat betapa dia menyayangimu kan?
Kabar itu menghentakmu ketika kamu baru saja kembali ke kamarmu pagi itu. Dalam lelah, teman sekawananmu, disampingmu kanan kiri dan depanmu bergosip, kamu mendengar. Dia akan menikah. Hatimu patah.
Sesak rasanya meski siangnya dia memilihmu untuk menemaninya menuju Pacific Place, sebuah mall tempat kamu sering bersua dengan kawanan di luar rumahmu. Keluar dari sana dengan kantong-kantong belanja Bvlgari, Hermes dan Valentino di tangannya bersama dua pria. Satu kamu kenal baik, dia langganan galeri dan satu lagi lebih muda, hmm… brondong manis, begitu dunia mengistilahkannya. Ketiganya berpisah, dia padamu, laki-laki yang kamu tahu menuju si hitam yang satu keluarga dengan si putih berotot dan si bronis melangkah ke arah, kamu mengerenyitkan mata, tidak perlu kamu deskripsikan, tidak keren dibandingkan kamu yang sebuah mahakarya.
Tiga tahun yang kamu lewati membuatmu kenal watak kota ini. Sejak awal, dengan status tinggi yang menempel padamu, kamu sudah mengerti bagaimana harus bersikap. Angkuh. Tak peduli meskipun ada kamera amatir mengamatimu, ada decak kagum keluar dari mulut-mulut yang matanya menelanjangimu penuh nafsu atau malah gerutuan sirik yang menganggap dia dan kamu tak peka, tak tahu kondisi di negeri serba tak tentu ini. Seperti dia, bukan emosi yang diperlukan disitu tapi pengendalian diri karena masalah tak perlu sengaja diciptakan di kota sudah penuh masalah itu.
Berada di jalanan serasa berada di atas catwalk, kamu menyukainya. Kamu bisa bereskpresi sesuka hati. Sayangnya kali ini hatimu terpecah. Ada perasaan tak rela ketika dia akan menikah. Dia akan memiliki anak-anak sungguhan, bukan kamu lagi, bukan kawananmu. Kamu akan kehilangan. Kamu ketakutan.

I forget Jakarta
And all the empty promises will fall
This time, I'm gone to where this journey ends

Pagi itu, saat hari libur tiba, kamu dan kawananmu diajak berlibur ke Bogor. Ramai sekali, kamu melihat banyak sesamamu yang belum pernah kamu kenal sebelumnya. Serta adik-adik juniormu yang kau akui lebih darimu sendiri. Di tengah hiruk pikuk manusia, kamu mencari-carinya, tapi tak ketemu. Kamu kecewa. Namun, kawananmu menikmati acara piknik itu, bersenang-senang tanpa harus terjebak kemacetan Jakarta setiap harinya. Kemacetan itu melelahkan, kamu selalu mendengar keluhan itu dari teman-temanmu. Belum lagi kualitas jalanan yang buruk membuat kamu dan kawananmu tidak bisa mengekspresikan diri semaksimal mungkin.
Dia datang! Akan tetapi, gelenyar bahagiamu segera redup. Dia bersama bronis itu. Kelihatan begitu dekat. Saat itu kamu berharap diciptakan sebagai autobot, sehingga bisa memperlihatkan emosimu, bisa bicara. Sayangnya, itu hanya ada di dalam film Transformer, cuma mimpi. Kamu hanya terpaku, menatap pemandanganya yang membuatmu muak.
Wajah bronis itu kelihatan bersinar, ada luapan kegembiraan yang kamu temukan dari tiap gerak jemarinya yang menyentuhmu. Kamu merinding.
"Jadi deh mbak saya ambil Audi R8-nya, hari ini juga uangnya saya langsung transfer."
Perkataan bronis terdengar olehmu. Perasaanmu berkecamuk. Kamu melihatnya, sungguh dia tersenyum. Malah dia kelihatan bahagia sekali. Hatimu bukan lagi patah, tapi hancur berkeping-keping.
"Oke. Surat-suratnya juga sudah disiapkan kok," katanya sambil membuka pintu milikmu. "Kamu jagain dia baik-baik ya, dia ini salah satu andalan saya lho. Saya sayang banget sama anak saya yang satu ini." Jemari lentiknya menyusuri tubuhmu. Sentuhan yang tak terkira harganya bagimu.
Kalau dia sayang kamu mengapa dia harus menyerahkanmu pada orang lain? Karena kalian memang berbeda. Kamu hanya mesin dan dia adalah manusia berhati. Meskipun waktu tak pernah bisa menahan kalian berdua untuk menua tiap detiknya.
"Padahal masih bagus, kenapa ngebet dijual mbak?"
"Mau ambil adiknya, yang 2010."
Bronis itu tersenyum. Dia menutup pintu pelan dan lembut seperti yang selalu dilakukannya. Kamu akan merindukan itu. Kamu bisa merasakan bronis itu di dalammu. Kamu merasa sesak. Kamu tak kuasa lagi menahan tangis. Bronis itu mulai membawamu berjalan. Lewat spion, kamu bisa melihat penampakannya, berdiri mematung menatapmu. Mungkin yang terakhir kalinya kalian bertemu.

Yeah I'm still on my way to get to where you are
Try to let go the things I knew
We'll forget Jakarta
Promise that we'll never look behind
Tonight, we're gone to where this journey ends

Bogor, 29 April 2010
Cuma menulis apa yang ingin ditulis kok =)
Kalau yang sudah baca cerpan Persimpangan (Simple Life, Simple Love) pasti kenal tokoh2 diatas, kecuali si bronis… Kenapa Audi R8? Hmm…gak tahu juga. Yang kepikiran itu sih… Kalo Lambo dijual sayang, kalo Ferarri Enzo apalagi. Cayman Island by Kings of Convinience, Adelaide Sky dan Forget Jakarta by Adhitia Sofyan (semuanya lagu favorit sayaaa….)

Read More..

Senin, 21 Juni 2010

Tentang Hujan

Menjelang malam ini hujan deras. Suaranya memantul-mantul di sekitar kamar saya. Bahkan yang tidak saya duga, air hujan ikut-ikutan ingin masuk ke kamar saya yang baru alias bocor.

Saya menyukai hujan. Saya mencintai jendela yang terbuka keluar, dimana saya bisa melihat langit setiap saat, saya bisa melihat hujan kapan saya mau (tentunya ketika hujan itu turun). Memandangi titik-titik air yang turun seringkali membawa pikiran saya terbang. Jauh, jauh dan jauh. Saya membiarkannya berkelana. Namun hampir seringkali, lamunan saya itu berujung pada suatu adegan romantis dan biasanya akan saya tulis di fiksi saya.

Entahlah, tapi menurut saya hujan itu romantis. Satu sesi paling romantis yang pernah Tuhan anugrahkan kepada manusia. Disaat hujan, seolah orang-orang berhenti sejenak. Entah itu mengeluh karena tidak membawa payung, entah itu girang karena tidak harus terpaksa menghadiri sesuatu, entah itu bahagia karena bisa sedikit lebih lama dengan orang yang disayangi. Hujan selalu membawa makna.

Salah satu adegan favorit yang pernah saya buat di kala hujan akhirnya saya masukkan dalan draft novel saya yang berjudul Januari Biru. Bukan adegannya yang romantis, tapi saya menyukai dialognya. Berikut saya penggalkan,

"Gue suka ngeliat hujan," kalimat itu terucap tiba-tiba oleh Afra, "suka banget."
"Ya, kelihatan banget lo menikmatinya," sambung Daffa menatap ke arah yang sama dengan Afra.
Kata-kata Daffa melambungkan hati Afra, tak pernah ada yang berkomentar seperti itu sebelumnya. Menyanjungnya di kala menikmati rinai hujan. Air yang mengalir.
"Tuhan menaburkan inspirasi dengan cuma-cuma. Setiap rintiknya. Setiap tetesnya yang menyentuh bumi. Setiap alirnya. Setiap genangnya yang memantulkan dunia," ujar Afra penuh kagum terhadap hujan.



Itulah makna hujan untuk saya, Inspirasi. Jutaan bahkan milyaran inspirasi turun bersama tiap tetes yang jatuh. Kita harus menangkapnya, mesti tak semuanya. Sedikit saja.

Kala hujan. Coba nikmati sebentar. Diam sejenak, berhenti dari aktifitas yang mungkin sedang dikerjakan. Lihatlah air yang jatuh, dengarkan bunyinya. Kalau buat saya, ada rasa rindu, ada rasa tenang dan nyaman tersendiri yang saya rasakan. Setelah agak lama, hirup dalam-dalam wangi sehabis hujan, bau tanah yang becek, pepohonan yang basa, aspal yang kedinginan. Perhatikan air yang menggenang disekitarmu. Semuanya adalah sekumpulan inspirasi.

Saya juga mengoleksi lagu-lagu yang bertemakan hujan seperti Hujan (Utopia), Through the Rain (Mariah Carey), After the Rain (Adhitia Sofyan), No Rain No Rainbow (Home Made Kazoku), It's Gonna Rain (Bonnie Pink), And the Rain Will Fall (Mocca), Tears and Rain (James Blunt) dan January Rain (David Gray). Semuanya lagu-lagu yang memukau, menyenangkan didengarkan dikala tidak hujan karena seakan membawa suasana hujan kembali ke sekelilingmu.

Nikmati hujan selagi bisa... Kalau sempat siapkan teh/kopi/coklat panas dan camilan, hidupkan laptop/netbook... Lalu perhatikan titik-titik yang jatuh, catat apa yang terlintas di kepalamu. Niscaya suatu saat ketika kamu membuka kembali catatanmu, kamu mungkin terkaget-kaget dengan apa yang kamu tulis saat itu.

Read More..

Ketika Jejaring Sosial tak Lagi Aman Bagiku

Tulisan ini terinspirasi dari mimpi saya barusan. Yang kalau boleh saya jujur, mimpi yang indah pastinya. Sampai saya menulis ini pun, saya masih terus ingin tersenyum kalo ingat adegan per adegan tentang mimpi saya semalam.

Senyum, senyum, senyum terus...

Sedikit banyak mimpi saya semalam juga mengingatkan saya tentang astra travel projection dan lucid dreams. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas disini, tentang Astral Prejoction dan Lucid Dreams bakal saya jelasnya di-post yang lain nanti.

Oke. Back to topic. Kenapa sih saya mengangkat judul seperti itu? Hmmm..kadangkala kan saya ingin seperti perempuan lain, yang gemar membagi perasaannya lewat jejaring sosial. Seperti mimpi saya ini, tentu ingin saya sedikit bagi di jejaring sosial. Saya mempunyai dua jejaring sosial yang aktif saya ikuti, yaitu twitter dan facebook.

Kali ini saya memimpikan tentang mantan gebetan saya yang manis yang dicemburui setengah mati oleh pacar saya sekarang. Pacar saya aktif mengikuti Facebook dan ex-gebetan saya itu aktif di twitter. Dan akhirnya saya stuck, tak tahu harus membagi ke orang-orang lewat media mana kebahagiaan kecil hari ini.

ya... Saya hanya merasa, jejaring sosial tak lagi aman bagi saya. Apa lagi dengan berjubelnya mata-mata dan biang gosip di facebook saya. Huh, memang harus hati-hati membuat status dan komentar. Di twitter saya yang notabene teman-temannya terbatas pun, teman saya bisa menebak-tebak apa yang terjadi pada saya hanya dengan mengamati tweets saya.

Beruntung saya bukan orang yang terlalu sering mengeluh panjang lebar dan berkata kotor di facebook. Saya sadar betul kok, sekarang facebook dan twitter juga jejaring sosial lainnya adalah salah satu cara bagaimana orang melihat kita. Ya kan, hampir semua orang pada masa sekarang punya akun facebook dan twitter kan.

Yup, seperti peribahasa lama yang hampir selalu benar, mulutmu harimaumu. Pada masa sekarang, itu bisa dikembangkan menjadi, statusmu harimaumu atau tweetsmu harimaumu. Gunakan secara bijak jejaring sosial!

Read More..

Minggu, 20 Juni 2010

Banana Boy

Salah satu dari koleksi cerita lama saya. Sudah saya posting di facebook juga Fanfiction. Ya, kalau mau baca lagi silakan aja... Saya senang kalau banyak teman membaca dan mengomentari fiksi yang saya buat. Lain kali bakal saya post fiksi saya yang lain lagi. Happy reading.


Banana Boy


Supermarket ini begitu riuh saat sore menjelang. Kudorong troli kosongku langsung menuju ke rak yang menjual barang incaranku. Sesampainya disana segera saja aku akan meraihnya bersamaan saat itu handphoneku bergetar. Kuputuskan untuk membalas pesan masuk terlebih dahulu, sekalian mengambil barang di rak itu. Tangan kananku terjulur pada arah yang sudah kupastikan. Sedangkan mata dan tangan kiriku fokus pada pesan balasan yang akan kukirim.

Yeah, sudah terkirim. Dan harusnya barang itu juga sudah kudapatkan. Namun jemariku merasakan sesuatu yang aneh dan berbeda. Kepalaku terangkat dari layar handphone ke barang itu. Warna kuning kehijauan miliknya itu tertutupi oleh noda coklat besar. Kusadari itu sebuah tangan, besar, lebih dari punyaku. Aku mendongak dan menemukan seorang laki-laki berusia sekitar awal duapuluhan yang tangannya ada diatas sesisir pisang ambon ranum idamanku itu.

“Maaf,” kataku seraya menarik tanganku menjauh cepat.

Sorry,” ucapnya hampir bersamaan denganku, juga dilakukannya hal yang sama denganku.

Pisang ambon setengah matang itu sekarang dalam posisi aman. Bukan milikku, bukan juga punya laki-laki itu. Warna, bentuk dan aromanya begitu menggoda. Membayangkan rasanya menggelitik lidahku. Sudah seminggu aku tidak sempat berpergian karena kesibukan penggarapan tugas akhirku yang memaksa hanya bisa mondar-mandir kampus kosan. Jadi, hari ini mumpung ada kesempatan aku pakai untuk membeli buah favoritku itu, pisang ambon.

“Buat lo aja.”

Tawarannya itu membuatku agak kaget sebab sedari tadi habis waktuku untuk melamunkan siapa yang akan mendapat pisang itu. Kelihatannya dia juga sangat menginginkan pisang itu sama sepertiku.

“Ah, gak apa-apa kok. Kamu ambil aja,” ujarku tersenyum jaim.

Jangan sampai laki-laki manis berkacamata ini tahu jika aku begitu berniat merebut pisang ini dari tangannya. Biasa saja.

“Beneran, lo ambil aja. Gw bisa beli di tempat lain,” tawarnya lagi dengan membalas senyumku yang membuat wajah bulatnya terlihat jenaka.

“Enggak, enggak apa-apa kok. Ambil aja,” tolakku dengan kejaiman tingkat tinggi sambil melirik trolinya yang penuh belanjaan.

Aku berharap harap cemas dia bakal menyanggah lagi penawaranku barusan. Nyatanya, diambilnya pisang itu begitu hati-hati. Mataku mengikuti setiap gerakan yang dilakukannya tanpa jeda. Bagai sebuah barang berharga diletakkannya pisang itu dalam trolinya. Disitu aku hanya terpaku memandang pisang itu sekarang sudah berpindah tempat. Dalam hati aku melancarkan makian kepada diriku sendiri karena kejaimanku.

Sampai dia menjalankan trolinya, aku masih berdiri disitu. Merutuki hal idiot yang kulakukan barusan. Hilang sudah pisang ambon itu, yang tertinggal hanya bayangannya di tiap detail pikiranku. Kemudian di depanku pada arah yang berlawanan dia berhenti, troli kami saling bersisian.

Hal itu membuatku salah tingkah dan merah mukaku. Segera saja aku menunduk dan memperhatikan roda-roda troli serta kakinya. Posisi kami membuatku tersadar begitu tinggi dan besarnya dia. Tahu-tahu dia sudah mulai melangkah lagi. Kutegakkan kepalaku lagi dan kutemukan pisang itu dalam troliku.

Kutengok segala arah untuk menemukan sosoknya. Sayangnya, dia seperti hilang di telan rak-rak tinggi dan lautan manusia supermarket ini. Bergegas aku menyusuri lorong demi lorong. Aku digerakkan oleh selintas ide yang barusan lewat di kepalaku. Pokonya aku harus menemukannya. Kupercepat gerakanku menyisir tiap lorong. Meski begitu hingga lorong terakhir aku belum menemukannya.

Putus asa, akupun menuju kasir dengan lunglai. Mungkin pisang ini memang rezekiku bukan miliknya. Sayang sekali. Aku berjalan dengan malas di tengah keramaian mall ini sambil menenteng plastik berisi pisang. Alhasil, aku menabrak seseorang yang ada di depanku.

Sorry,” katanya.

Suara itu menyentuh sarafku begitu cepat. Kutatap pemilik suara itu dengan senyum yang sedikit demi sedikit merambah wajahku.

Banana boy, gimana kalau pisangnya kita bagi dua?”

Wajah bersemu senyum jenaka dan nampak manis dengan kacamata itu balik tersenyum padaku.


FIN


Bogor, 31 Maret 2009

Untuk Banana.Syndrome dan bananaprincess


a/n : cerita ini ada lanjutannya lhoo

Read More..

Sabtu, 19 Juni 2010

Morning Regret

Penyesalan selalu datang di belakang...

Pagi ini hati saya hancur tercabik-cabik. Ya, kenapa? Sahabat saya sejak TK pagi ini ijab kabul dan saya gak bisa hadir hanya karena alasan deadline. Saya belum bekerja, tapi saya punya beberapa tanggungjawab. Proposal penelitian yang belum selesai membuat saya mesti stay di Bogor untuk beberapa waktu di depan.
Benar, hati saya hancur. Rasanya kok ada perasaan rela-tidak rela, sahabat saya itu menikah. Saya ingat dulu kami main-main bersama. Ah, banyak sekali kenangan. Tahu-tahu hari ini dia akan ijab kabul. Itu pilihan hidupnya.
Akan tetapi, jelas saya senang. Ada diantara kami yang mendahului untuk memutuskan menuju jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Ya, melepaskan ke-jomblo-an dan menetapkan diri untuk menikah. Yang begitu-begitu kan memang Quarter Life Dillema (pinjem judul novelnya mbak Primadona Angela). Memilih antara sekolah dulu, karier atau menikah.
Saya kagum sekali dengan sahabat saya itu berani mengambil keputusan di umur semuda saya. Sudah berani mengemban tanggung jawab dengan membentuk sebuah keluarga. Tidak seperti saya yang masih-masih-masih-masih berorientasi main dan senang-senang serta mewujudkan mimpi-mimpi duniawi saya mumpung di umur segini saya masih punya tekad, tenaga, waktu dan uang (dicari kemudian).
Setiap orang punya pililihannya sendiri, termasuk saya. Jalan setiap orang berbeda. Jadi, kita cuma berdoa, semoga sahabat saya itu tidak pernah menyesali keputusannya dan kelak keluarganya bisa menjadi keluarga sakinah mawaddah dan warohmah.

Maafin saya gak bisa hadir.

teruntuk Dinda Larasati dan Fadhil Aw.

Read More..

Sabtu, 12 Juni 2010

Long Road, Long Story

Sebelumnya saya tidak pernah tertarik dengan para penghuni jalanan yang tiap hari wira wiri di depan wajah saya. Yup, saya, kamu atau semua orang pasti pernah menggelinding di jalanan dengan suatu benda bernama 'mobil'. Dulu saya anggap mereka hanya sedekar alat transportasi. Namun, ternyata banyak hal lainnya di dalam dunia mereka.

Saya perempuan, wajar kalau berpandangan seperti itu. Hahaha... Awal mula saya tertarik adalah ketika saya mulai menulis salah satu cerita yang berlatar belakangan kehidupan kelas tinggi. Jelas, ada yang beda. Kalau tokoh-tokoh saya itu sudah saya pakaikan Louis Vuitton, menjinjing tas Hermes dan beralaskan kaki Christian Louboutin, masa saya harus naikkan mereka ke busway atau 'mobil sejuta umat'. hahaha...

Mulailah saya mencari. Saya belajar. Pertama-tama, hanya jenis dan merek saja, dari yang sudah umum didengar telinga saya, Toyota, Honda, BMW, Mercedes-Benz, Nissan, sampai yang baru mampir ke telinga saya, contohnya Maserati, Lamborghini, Lexus, Infiniti, yah dan masih banyak lagi. Saya belajar harganya. Lalu spesifikasinya hingga spesifikasi orang-orang yang memakainya. Sudah itu, karena dari awal saya gak tahu mesin, akhirnya saya pun belajar dari dasar tentang mesin mobil hingga ke jenis-jenis penggerak dll.

Ternyata dunia mereka ramai sekali. Beruntung kalo mereka mendapatkan seorang majikan yang care, maka mereka pun akan didandani secantik dan seganteng mungkin. Kalau tidak, ya mungkin seperti nasib mobil-mobil mewah yang banyak dibuang di kawasan TimTeng sana. Saya sekali ya, padahal mau deh kalau saya mesti nampung :)

Bagi yang memiliki uang lebih, bisa membeli mobil premium, maka akan mendapatkan keuntungan lebih. Biasanya sih, kita bisa memilih interior dan eksterior sesuai dengan keinginan kita. Bahkan mengukir nama kita di interior mobil.

Ah, saya bukan mengajak kalian untuk hedonis dan konsumtif dalam bermimpi memiliki kendaraan. Buat saya yang sudah sering berpergian dengan mobil sejak kecil (walaupun sekarang belum juga lancar menyetir karna belum punya mobil sendiri), kenyamanan itu penting, irit bahan bakar dan tentu saja bisa ngebut. Hahaha... Lupakan safety, orang Indonesia lebih suka gaya dan modifikasi dibanding safety. Banyak saya membaca di sekitar, kalau ingin mobil yang safetynya lumayan atau premium ya harus ada uang, kalau mau sih pilih mobil CBU (impor) atau benar-benar mobil mewah premium sekalian.

Tidakkah begitu banyak diantara kita yang waktunya habis diatas jalan? Saat kita mendapatkan kenyamanan dari kendaraan yang kita tumpangi, bukankah sama dengan melepas penat sejenak. Menikmati hidup di atas kendaraan, memandangi mobil-mobil lain yang lewat, melihat tepian jalan yang bergerak ke belakangan, merasakan hembusan angin yang menerpa wajah. Buat saya semua itu anugrah, sebuah momen yang selalu menggulirkan inspirasi dan mimpi. Sampai akhirnya saya berani bermimpi mempunyai sebuah Range Rover Sport dan Lexus LX 570 suatu hari nanti...

Read More..