Selasa, 28 Februari 2012

[Resensi] Believe: Jarak yang (Tidak) Sederhana



Judul : Believe
Pengarang : Morra Quatro
Penerbit : GagasMedia (2011)
Tebal : 210 halaman

Jarak bisa begitu powerfull.
Ini hanyalah kisah cinta sederhana. Biasa terjadi pada banyak pasangan di dunia. Tidak lebih dekat dari pada dua propinsi di Pulau Jawa dan tidak lebih jauh dari jarak Bumi dan Mars. Hanya setengah putaran Bumi—sejauh itu saja mereka berada.
Langit dan Layla—Biru—memulai bentangan jarak itu pada suatu ketika saat ibunda Langit meminta langit menyelesaikan gelar masternya di Kairo. Adegan perpisahan di antara macetnya Jakarta dan hiruk pikuk bandara membuka cerita ini. Serta doa yang mengiringi kepergian—doa untuk kembali dan terus bersama. Untuk empat puluh amin agar sebuah doa diijabah.
Langit dan Biru membuat kita yakin dengan yang mereka yakini. Perjalanan untuk kembali mereka bagi dalam cerita-cerita lain. Tentang Wolf, tentang Yogya, tentang Jendra, tentang banyak lagi lainnya. Pelan-pelan mereka mulai mengumpulkan satu demi satu amin untuk doa mereka.
Hanya sesederhana itu saja.
Sesederhana itu namun dibutuhkan keyakinan yang kuat untuk melakukannya. Morra Quatro membangun keyakinan itu untuk pembaca lewat karakter Langit dan Biru. Menuturkan setiap peristiwa yang membuat kepercayaan pembaca bertambah setingkat. Plot yang sederhana tidak membuat kisah ini menjadi klise—justru, kisah-kisah lain yang diselipkan di dalamnya membuat cerita ini begitu hidup. Begitu banyak karakter dalam kisah ini juga tidak membuat rancu.
Haru biru dalam kisah ini begitu terasa, bahkan bagi saya yang tidak mengalami kisah cinta LDR. Ya, bahwa hubungan jarak jauh hanya tercipta untuk mereka yang punya hati yang tenang dan dalam, seperti Langit dan Biru.
Jarak bisa begitu powerfull. Juga begitu imajinatif. Manusia membuatnya agar bisa mengukur—menentukan jauh dan dekat. Padahal sebenarnya jarak terjauh ada ketika kamu saling dekat tapi sama-sama diam dan tak mengerti.
Ini hanya kisah tentang pasangan yang berjarak dan berharap bersatu kembali.
“…Tapi kamu tahu untuk sebuah doa satu amin cukup kalau Dia menghendaki…”
Dan mereka tetap mengumpulkan empat puluh amin. Karena mereka percaya.

Aditia
Bogor, 28 Februari 2012 

0 komentar: