Sabtu, 12 Maret 2011

Doa

Dri, minta doanya ya. Sirene udah dibunyikan.

Dua kalimat dalam satu pesan pendek itu telah menembus ruang dan waktu untuk mengabariku. Jantungku mencelos ketika mengangkat ponselku dan menghubungkan ke nomor pembawa pesan itu. Serasa berenang dalam kegelisahan, padahal aku berdiri diam. Pendar cahaya televisi mengisi sebagian ruangan yang tampak redup karena jam tayang matahari sudah hampir usai. Suara pembaca berita masuk dalam telingaku saat jeda senyap antara bunyi ‘tuut’.


Dadaku mengembang ketika kumasukkan lebih banyak udara di sana. Seakan persediaan oksigen menyusut habis karena harus berebut dengan gunung berapi yang sedang batuk. MERAPI MELETUS. Itu rangkaian aksara kapital di layar televisi. Kali ini hatiku membeku. Siaran langsung evakuasi warga di lereng Merapi. Jelas terlihat wajah-wajah panik dan ketakutan, beberapa malah berleleran air mata dengan ponsel di tangan. Seperti aku sekarang, mereka sedang mencari keluarga yang terpisah. Aku sedang menunggu seseorang mengangkat teleponku.

Reporter itu masih bicara dengan latar belakang jalan raya Kaliurang yang sangat kukenal, mataku melotot melihat transformasi warna pakaiannya yang tadinya cerah menjadi abu-abu. Pundaknya bersaput debu vulkanik. Sekilas kamera menyorot ke udara dan melayanglah beramai-ramai para abu di bawah temaram lampu jalan.

Ya Tuhan, angkat teleponnya!

Padahal aku bukan sedang menelepon Tuhan. Reno. Dari pesan singkat itu, aku yakin dia ada di lokasi kejadian saat ini. Dia belum mengangkat teleponku. Aku ingin bicara padanya, aku butuh mengetahui bagaimana kondisi di tempat itu sekarang.

Bunyi ‘tuut’ berhenti. Sambungan terputus. Aku mengulang lagi telepon itu. Berdiri memeluk diri sendiri, memandang sendu warna-warni iklan yang sedang menggantikan berita yang ada. Kutarik napas panjang lagi.

“Halo.”

Suara familiar itu menyapaku ramah, meskipun terdengar sedikit kecemasan di dalamnya.

“Ren, gimana di sana?” berondongku cepat.

“Ini baru selesai evakuasi. Tapi masih ada beberapa orang yang nekat nunggu di atas, Dri. Aku akan balik lagi ke Kinahrejo sama beberapa relawan dan wartawan untuk bujuk mereka turun, Dri.”

Aku membisu sesaat. Nama lokasi yang barusan Reno sebutkan langsung terpeta jelas di kepalaku. Tempat yang beberapa bulan lalu sempat kukunjungi bersama Reno.

“Doakan kami ya, Dri. Sekarang di sini kondisinya sedang panik.”

Lidahku kelu. Aku ingin berada di sana. Sungguh.

“Aku segera berangkat. Nanti aku kabari lagi, Dri.”

Perutku serasa bergejolak. Layar televisi sudah kembali bersama pembaca berita yang memberi tahu bawa letusan tadi barulah fase pertama. Di perkirakan masih ada kelanjutannya. Semua warga diharuskan turun ke barak pengungsian.

“Dri,” panggil Reno.

Aku berhenti mengamati berita, “ya, Ren.”

“Doakan aku ya,” pintanya pelan dalam intonasi lembut seperti yang dia sering gunakan padaku dulu. Aku menelan ludah.

“Me-memangnya gak apa-apa balik ke atas lagi, Ren? Berita bilang itu daerah bahaya,” kataku dengan nada khawatir yang tidak bisa kusembunyikan. Letak desa tersebut tidak jauh dari Kaliadem, yang pada tahun 2006 habis disapu awan panas, bisa bayangkan bagaimana rawannya desa itu kan? Kugigit bibirku, habis sudah kata-kata untuk membujuk Reno agar tidak pergi. Entah mengapa perasaanku tidak nyaman dengan semua ini.

“Dri, kalau bukan kami siapa lagi yang mau membujuk mereka turun? Warga desa itu kan partnerku dalam menjaga tanah ini. Lagipula, Merapi tidak sedang marah, cuma batuk-batuk empat-lima tahunan seperti biasa. Setelah semua ini berakhir, sisanya adalah berkah untuk kami. Yang sekarang kelabu nantinya akan hijau subur kembali. Selalu ada harapan, yang penting kita tak lupa berdoa dan berusaha. Tuhan selalu tahu yang kita butuhkan dan berikan yang terbaik. Hidupku ada di sini…tanah yang kupijak dan kujaga setiap hari, Dri. Aku akan jaga diriku, Dri. Jangan khawatir.”

Kudenguskan napas bergetar, Reno mencium ketakutanku. Akan tetapi, dia tetap dengan keras hatinya, aku maklum karena Reno memang bekerja di TN Gunung Merapi dan sudah tugasnya untuk menjaga kawasan itu. Hening menghanyutkan kami dalam beberapa detik. Sungguh, aku tidak ingin pembicaraan singkat itu berakhir. Lebih seksama aku mendengarkan, riuh rendah suara yang menjadi latar Reno bicara. Pada jenak itu juga kudengar seseorang memanggilnya, meskipun lirih bisa kudengar ajakan orang itu pada Reno untuk segera ke atas karena malam sudah segera datang.

“Dri―”

“Aku sudah terima paket dari kamu,” potongku cepat.

“Sudah dibuka?”

Aku menggeleng pelan lalu menyambungnya dengan jawaban, “belum.”

“Buka. Kalau kamu tunda-tunda, nanti kadaluarsa lho,” kelakarnya.

Bibirku sedikit tertarik, membentuk senyuman mendengar candaannya itu.

“Dri, aku pergi dulu ya. Sampaikan salamku untuk Naufal. Doakan kami.”

Kalimat itu memupuskan senyumku, namun dengan cepat aku meresponnya. “Hati―” sambungan telepon itu terputus, “-hati.” Kuteruskan sendiri kata-kata itu dalam gumaman pelan, namun serasa berubah menjadi gema di ruangan aku berada sekarang.

Aku terduduk. Reporter masih berkicau, di belakangnya tampak pengungsi berjejal di barak, lalu kamera berpindah memperlihatkan jalanan penuh kendaraan yang berpacu menuju ke lokasi lebih aman. Kesunyian menyergapku. Reporter dan penyiar berita dalam satu layar itu seolah bicara tanpa suara.

Pikirku terbang ke tempat itu, Kinahrejo, Kaliurang dan kawasan sekitar lereng Merapi lainnya. Jalanan yang pernah kupijak, tanah yang pernah kudatangi, saksi bisu perjalanan pendekku. Tempat kutemukan jawaban atas sepotong rinduku. Tempat kutinggalkan satu fragmen hatiku. Ya, ketika kamu pernah meninggalkan sekeping hatimu di sana. Maka, dengan senang hati kamu akan menganggap tempat itu selayaknya rumah, tempat yang selalu kamu kenang dan rindukan. Alasan itu dan segala serakan kenangan di sana bisa menjadi benang merah atas kacaunya perasaanku dengan kondisi Merapi yang memanas.

Kesekian kalinya aku mengisi paru-paruku dengan udara yang mendingin. Meletakkan ponsel di atas meja dan beranjak dari televisi yang kubiarkan menyala. Tampilan berita digantikan suara adzan magrib. Giliranku bicara pada Tuhan, berdoa untuk mereka yang terkena bencana, untuk Reno.

Seusai solat, aku menghidupkan lampu-lampu di rumah sepi ini. Terangnya cahaya lampu, gemerlap furnitur, gelegar musik, selalu bisa mengusir sepi, tapi tak pernah bisa menghapus sunyinya hati yang sendu. Menyeduh segelas teh hangat. Mengambil kotak kecil bersampul coklat dari dalam tas kerjaku di dalam kamar. Paket dari Reno yang menyambangi meja kerja di kantorku siang tadi.

Bersama laptop-ku, aku membawa paket itu keluar. Berniat membukanya di depan televisi sembari meneruskan memantau berita tentang Merapi. Aku duduk, televisi masih memutar berita kondisi Merapi terkini. Kupandangi paket itu, teringat, bahkan aku belum sempat berterimakasih untuk paket itu. Kuraih ponselku lagi, ujung jariku sudah hampir menyentuh layar yang menampilkan nomor kontak Reno.

Kurasa dia sekarang sedang sibuk. Terlebih dalam kondisi terburu-buru dan panik seperti itu mungkin dia tidak akan menerima telepon dariku. Aku pun mengurungkan niat untuk menghubungi Reno. Kulirik paket itu. Kuletakkan ponselku lagi.

Perlahan aku menyobek kertas pembungkusnya. Sebuah CD dan kartu ucapan sederhana. Masih sepuluh hari lagi sebelum ulang tahunku. Kalau ini sebuah hadiah ulang tahun, maka ini datang terlalu awal.

Dear, Adrianna.
Selamat ulang tahun. Doaku tak berubah, semoga kamu selalu bahagia dan mendapatkan hal-hal yang kamu impikan. Meskipun kado ini datang terlalu awal. Semoga kamu tetap berkenan menerimanya dan menyukainya.

Reno.

PS: CD ini berisi sebuah lagu untukmu. Sebuah cerita tentang pencarian atas jawaban rindumu padaku beberapa waktu lalu. Sesungguhnya aku bahagia saat kamu kembali. Namun, ada banyak hal yang tidak bisa diperbaiki seperti sedia kala. Ini yang terbaik. Selamat untukmu dan Naufal, semoga kalian berbahagia selalu. Aku turut bahagia untukmu.


Bergegas aku menyalakan laptop-ku. Kumatikan suara televisi. Setelah laptop-ku siap digunakan aku segera memasukkan CD itu. Jantungku berdetak keras ketika aku mencari file lagu tersebut. Dan berdegup makin kencang saat intro lagu itu, nada-nada dalam petikan gitar, dimulai.

Yang kucari hanya jawaban sepotong rindu
Yang terbawa oleh pundakmu dan tertiup angin
Ku mendamba hangat cinta yang masih menyala
Serpihan kisah cinta kita
Sepuluh tahun lalu, berdua…


Aku terpaku. Kata demi kata menuntunku ke beberapa bulan yang lalu. Kupejamkan mataku. Potongan gambar silih berganti mengisi ingatanku. Reno. Rindu. Aku menyandarkan tubuhku pada punggung sofa. Kulipat kedua kakiku di depan dada, kutaruh tanganku di atas kedua lututku. Terakhir kurebahkan kepalaku di sana.

Masih tercetak jelas dalam ingatanku, perjalanan kecilku itu. Aku mengembangkan harap dan mendaraskan doa dalam hati, agar Reno mau memaafkanku dan menerimaku kembali. Kaki-kaki kecilku ini sampai menjejak di puncak Merapi untuk itu. Bisa kukenang semua itu dengan mudah, Reno yang selalu ada, yang selalu tahu. Kami menghabiskan banyak waktu di sekitar Merapi, mengamati Elang di Kinahrejo, memandangi puncak Merapi padi hari dari teras rumah di Selo, berlari di bawah hujan di antara tegakan pinus Kalikuning, mengunjungi desa wisata Ngablak untuk makan salak sepuasnya serta menembus kabut Gunung Bibi. Aku mengikuti dan mengejarnya demi kata ‘maaf’.

Lantunan vokal dan suara gitar itu membelitku dengan pita-pita kenangan.

Kucari dan selalu kucari
Arti dari cinta yang selalu kudamba
Kutunggu dan selalu kutunggu
Takut terlupa raut wajahmu

Pada akhirnya dia memaafkanku. Hanya saja hal yang sudah retak dan pecah tak bisa diperbaiki lagi. Namun hidup harus terus berjalan, masa lalu harus direlakan karena di depan selalu ada harapan yang akan kembali menghadiahi bahagia.

Kusadari benakku yang bergejolak. Dingin tanganku menjalar ke pipiku. Pandanganku mulai memburam. Sepanjang lagu ini aku menarik napas panjang lebih banyak dibandingkan dengan saat menonton berita tadi.

Ingin ku menangis saat hujan turun
Agar tertutupi semua lemah diri
Hooooo…
Bila nanti kita tlah bertemu
Menatap matamu sungguh aku tak mampu
Dan ketika aku pun menangis
Berharap kau akan memelukku…


Bulir air mulai merangsek keluar dari pelupuk mataku. Lalu kurasakan gerakannya di permukaan wajahku. Tidak seperti hujan yang senang hati menghapus jejak. Titik air ini laksana pisau yang merobek lagi kotak-kotak tempat memori-memori sudah kusimpan rapi. Potongan-potongan momen itu buyar, menghujan di dalam hati. Aku menangis tanpa suara.

Kubiarkan diriku tenggelam bersama kenangan yang membanjir. Air mata meleleh mengikuti tarikan gravitasi, mengalir melembapkan kulitku. Aku ingat. Dia, Reno yang dulu kucintai. Kebersamaan yang pernah kurajut dengannya. Mimpi-mimpi yang pernah kami rangkai. Aku ingat sudut-sudut wajahnya saat tersenyum padaku. Cara dia menyentuhku. Nada bicara dan suaranya yang merdu.

Aku kembali terisak. Dada ini terasa sesak.

Ini yang terbaik.

Kalimat dari kartu ucapan yang ditulisnya itu terngiang di telingaku. Ini yang terbaik. Aku menahan napas, mencegah isakan kembali keluar. Sekali lagi kata-kata itu terngiang. Aku menghapus sisa air yang menempel di pipiku. Kutegakkan kepalaku, yang entah mengapa, bergerak sendiri menoleh ke salah satu sisi dinding. Ini yang terbaik.

Di sana ada aku dan Naufal. Kami yang bahagia dan saling mencintai.

Yang terbaik dari semuanya.

Sejenak aku memilih didekap sunyi. Sesekali deru napasku mengarungi hening yang memekat. Tangisku sudah berhenti. Gelora dalam dada mereda. Denyut jantungku yang kembali teratur. Aku seperti baru saja dibangunkan dari mimpi.

Tak ada yang lebih baik dari pada ini.

Kuambil ponsel di atas meja. Kulirik jam yang berada di pojok layar. Nyatanya aku menangis cukup lama, sekarang bahkan sudah lewat pukul sembilan malam. Tanganku yang lain meraih cangkir teh. Kuminum sedikit teh yang sudah mendingin itu, rasanya hambar.

Cangkir teh itu sudah kembali berdiri di atas meja. Kuhentikan lagu dari Reno, yang sudah terputar puluhan kali sejak tadi. Menggantinya dengan koleksi musik yang kiranya tak menumbuhkan haru biru kembali. Malam semakin larut. Aku masih tergugu di depan televisi, di tengah hentakan musik rock dan di ramainya jejaring sosial malam ini. Sekali lagi aku memandang ponselku. Tak ada pesan, tak ada telepon. Aku baru ingat kalau belum mengunci pintu dan jendela-jendela. Naufal sedang berada di Kalimantan sekarang, tanpa sinyal, tak bisa dihubungi, padahal aku ingin dia di sisiku sekarang.

Aku berdiri dengan ponsel masih dalam genggaman. Televisi sepertinya sudah menyiarkan acara yang berbeda-beda sejak tadi. Aku sudah hampir melangkah dari hadapan televisi saat breaking news dimulai. Aku diam, mendengarkan suara pembaca berita yang mengabarkan bahwa ada beberapa orang yang terjebak di sekitar tempat tinggal juru kunci gunung Merapi, Mbah Maridjan. Hingga saat berita itu diturunkan korban-korban tersebut belum dapat dievakuasi dan belum diketahui keadaannya.

Hatiku berdesir. Kakiku kembali gemetaran. Kuarahkan tatapanku melalui jendela yang tirainya belum kututup. Langit tidak gelap. Jakarta tak punya langit yang hitam kelam. Warnanya sedikit merah karena pantulan cahaya jutaan lampu yang menerangi malam Jakarta. Hal itu membuat bintang enggan muncul. Padahal aku mencoba menemukan bintangku. Bintang terang yang pernah kulihat bersama Reno di langit Merapi.

Aku akan jaga diriku, Dri.

Suaranya menggema dalam pikirku. Breaking news itu sudah lewat. Aku berlalu dari depan televisi, menuju jendela. Lalu kembali mematung, menatap langit sebentar. Sekarang mataku terpancang pada layar ponselku. Permukaan layar itu terasa begitu licin ketika aku menyentuhnya. Beberapa kali aku salah mengetikkan huruf. Semua karena air mata sudah menggenangi kembali mataku. Tampilan layar yang katanya terbaik itupun tak bisa melawan kuasa air mata yang mengaburkan pandanganku.

Ren, terimakasih atas kado ulang tahunnya. Aku senang kamu masih mengingat ulang tahunku. Semoga kamu baik-baik saja di sana. Aku berdoa untuk keselamatanmu. Aku tunggu kabarmu. Hati-hati.

Selesai mengirim pesan tersebut, mataku masih tertumbuk pada layar ponselku. Pesan itu terkirim tapi belum sampai. Aku was-was. Aku pun bergegas menutup tirai jendela dan semua bagian rumah yang perlu dikunci. Kulakukan itu sembari mengusap air mata yang berkali-kali melesak keluar. Kemudian aku buru-buru duduk kembali di depan televisi, menunggu kabar terbaru.

Kuteguk lagi teh yang sudah dingin itu, tapi rasanya tenggorokanku tetap kering. Tak lama breaking news kembali lagi. Sekarang dengan berita langsung evakuasi korban yang ada di sekitar Kinahrejo.

Aku mengigil.

Terlihat abu di mana-mana. Tebal seperti selimut. Aku masih mengenang jelas saat aku datang ke sana. Pohon-pohon yang menghijau di sekitar dusun. Penduduk yang berjalan memanggul rumput. Langit biru dan angin menyegarkan.

Pandanganku sekarang hanya menangkap sebuah desa mati. Kulihat hanya batang-batang layu dan kelabu. Rumah-rumah yang hancur. Meski hanya lewat layar televisi, aku bisa merasakan cekaman ketakutan. Gelap yang mencekik. Hasil karya wedhus gembel yang numpang lewat tadi.

Reno, kamu di mana?

Aku di sini dengan sebuncah harapan dan segenggam doa untukmu.

***

Pesan itu tak akan pernah sampai. Namun doa ini akan selalu menyertaimu. Aku bangun pagi ini dengan sejumlah pesan singkat dan televisi bercerita padaku. Mereka menemukanmu subuh tadi, dalam keadaan bersujud dan tertutup abu.

***

When my time comes/
Forget the wrong that I’ve done/
Help me leave behind some/Reasons to be missed
Don’t resent me/When you feeling empty/
Keep me in your memory/Leave out all the rest

(Leave Out All the Rest – Linkin Park)


Bogor dalam pagi sendu, 27 Oktober 2010
Sepotong Rindu, lirik dan musik oleh Arga Pandiwijaya.
Duka sedalam-dalamnya untuk bumi Yogyakarta dan Mentawai. Kepada saudara-saudara di sana, semoga Tuhan menguatkan hati kalian. Kami di sini dengan segenggam doa dan harapan.
Gue gak tahu kenapa mesti nyelipin lirik dari Linkin Park di cerita ini. Gue cuma suka kata-kata ‘Keep me in your memory…’ . It’s like Reno said that through the CD’s which he gave to Adrianna.





0 komentar: