Sabtu, 26 Februari 2011

The Book


Year 2313, Day 97.

Area 9 (Ex-West Java, Banten, and Jakarta) of East Land.

Bertimpuh di tepi beranda pagi ini. Gemerlap kilauan terang cahaya matahari menembus tiang-tiang kayu di sekitar. Pucuk-pucuk pinus dan agathis bergoyang semarak oleh belaian pagi bayu. Langit memantulkan warna emas dari sinar surya yang baru menyapa.

Aku di sini, setia bersamanya. Setia menemani, mendengarkannya berbisik, mencari tahu apa yang terjadi padanya. Aku sesetia itu padanya. Dia yang selalu membiarkan aku mampir ke bibirnya. Merah gelap warnanya, karena sesekali diteguknya alkohol atau kopi, tidak jarang ditenggerinya rokok. Ah, siapa peduli, sebab bibir itu tak pernah berkurang lembut cecapnya.

Dia yang kini tenggelam di antara lembaran buku baru miliknya yang baru beberapa hari lalu selesai ditulisnya. Itu usang, tapi dia tetap memilih membaca dengan cara tradisional dibandingkan menggunakan book reader digital seperti yang seorang sahabatnya pernah tunjukkan. Dengan bangga dia menenteng jilidan kertas tebal itu ke mana-mana, membalik tiap lembar kertas, menghabiskan waktu lebih banyak dibandingkan memakai book reader yang tebalnya tak kalah tipis dengan lembar kertas itu. Ia mencintai hal-hal klasik. Klasik adalah keindahan, menurutnya.

Cicit burung selalu hadir, menjadi musik pengiring setiap pagi yang aku dan dia habiskan. Tupai berlarian di sela ranting-ranting agathis. Semilir angin mengajak daun-daun bergoyang dan sesekali menaburkannya ke udara kosong. Ini adalah duniaku, aku adalah miliknya.

Sekali lagi ia meraihku dengan lembut. Memelukku penuh kehalusan. Hangat dari pori-porinya menyembur padaku. Ah, untuk kesekian kali kecup dan sentuhan bibir itu kurasakan lagi. Kami rekat dalam beberapa saat. Lebur bersama. Satu kecap dan rasa serupa.

Diriku, miliknya satu-satunya. Ingin selamanya di sisinya.

Ia memang duniaku, akan tetapi sebelumnya aku pernah menjejak tempat lain. Rumah di mana aku dilahirkan, yang tak lagi sudi kusebut rumah sejak dia memboyongku ke sini. Di sana api, di sana besi, di sana jelaga. Dulu kulihat semua berbeda, langit kelabu, orang-orang berjalan lesu, debu dan deru mesiu.

Di beranda ini, rumah ini, di sampingnya, aku nyaman…. Sejuk bibirnya masih tertinggal saat kami terlepas. Sisa embusan napasnya menempeli tubuhku. Bosan sama sekali tak pernah kurasa. Aku merindui singgungannya. Aku adiksi terhadap jamahan bibir itu.

Tangannya menyibak lagi satu lembaran kekuningan itu. Lalu membenahi letak kacamata bacanya. Tertegun aku merayapi pandanganku padanya, dengan posisi lebih tingginya darinya, tatapanku leluasa meraba tiap lekuk pahatan muka itu. Dihiasi rambut hitam bergaya spike, hidung mancung dan kulit kecokelatan khas bangsa Timur. Kedua bola matanya menyiratkan kecerdasan dan sorot tajam seorang pemberani. Dipadu dengan bibirnya saat membentuk selengkung senyuman—siapa pun bisa ditaklukannya dengan itu.

Dia memilih di sini. Tempat ini. Lari.

Sedetik kemudian terdengar kepak sayang burung menjauh pergi. Suara para tupai terhenti. Hanya angin masih menarikan daun dan pasir yang terserak. Ia mendongak dari lembar bukunya, membenarkan posisi kacamatanya lagi.

Layar kacamatanya berubah gelap sesaat. Ia menarik satu napas panjang. Aku tahu apa artinya itu. Aku harap bukan berita buruk. Ia menutup bukunya, menarik selapis benda transparan yang dijadikannya pembatas antara halaman bukunya—lightbook. Satu jarinya menyentuh permukaan layar bening itu, lalu sebuah layar hologram besar mencuat dari sana.

Satu wajah terbentang di layar itu.

I’m coming, Ken! I’m home!”

Terdengar satu lagi helaan napas bersamaan dengan jari Ken menyentuh satu sisi layar. Tak lama, dengung halus sebuah mobile capsule terhenti di halaman rumah. Selanjutnya derap boot menggaung mendaki tangga beranda. Lalu aku bisa melihat sosok itu—pemilik wajah yang tadi tersaji di layar—Arian.

Hampir tak berubah seperti terakhir kali pemuda itu datang dan membujuk Ken untuk bergabung dengannya. Rambut brunette-nya masih terpotong pendek, ia datang dalam busana kasual favoritnya—celana dan jaket kulit serta boot setinggi betis. Langkahnya mantap, tas yang tersampir di punggungnya berayun berat. Di wajahnya terlampir seringai lebar. Tujuh tahun terakhir Arian menduduki posisi kepala lab di koloni OSS P 2503, salah satu pangkalan dan laboratorium luar angkasa terbesar di Heliopause*. Namun, delapan bulan belakangan dia lebih sering berada di Bumi, begitu seperti yang Ken tulis di jurnalnya.

Bibirnya Ken tertarik di kedua ujungnya, mengulaskan senyuman tipis. Matanya mengarah lurus pada sosok yang berjalan mendekat padanya. Mereka sahabat sejak kecil, korban perang dunia ke-5, sama-sama kehilangan orang tua dan Arian lebih beruntung dibanding Ken, karena Ken keturunan dua ras berbeda—membuatnya menjadi buronan. Pada masa perang itu, antara Barat dan Timur, saling ingin menguasai dan memurnikan ras mereka masing-masing. Aku belum lahir masa itu, tapi aku curi baca ketika Ken membuat catatan-catatan.

“Aku pulang saat yang tepat ya?”

Sekarang kedua sahabat itu berdiri berhadapan, dekat dan saling lekat menatap. Layar hologram dari lightbook Ken menyusut.

Aku ingat satu kalimat yang berulang kali ditulis Ken dalam catatan hariannya. Aku berhutang budi pada Arian. Oleh karena ras campuran dalam diri Ken, ia menjadi sasaran empuk perburuan para Race Hunter dari dua belah pihak, East dan West. Arian-lah yang menyelamatkannya, mengajaknya bersembunyi satu area hutan kecil—tempat ini, rumah Ken berada sekarang. Maka dari itu, Ken hampir tidak pernah menolak permintaan Arian.

“Kamu menyelamatkan hutan ini, Ken,” ujar Arian meletakkan satu tangan ke bahu Ken. “Hampir mustahil untuk dilacak. Kamu menyembunyikannya dengan sempurna.”

Welcome…. Sama seperti enam belas tahun yang lalu kan? Ketika pertama kali kita tersesat dan diselamatkan hutan ini. Aku hanya membayar hutang.”

Arian berdecak kagum, “ya, sebuah shelter yang nyaris sempurna.”

How about a cup of coffee?” Ken menjentikkan jemarinya dan dari dalam ruangan muncul sosok menyerupai manusia, Homby—si robot asisten.

Mata Arian memindai Homby yang mengangguk hormat padanya. Ken memprogram robot itu dengan sikap santun orang Timur dengan gaya luar seperti salah seorang pelayan di masa Jepang kuno.

“Sejak kapan dia ada di sini?”

Homby kembali ke dalam dengan gerakan cepat. “Six months. It’s kind a tired to life all alone.

You have to go to outside.

I know.” Secangkir kopi diulurkan Homby pada Arian bertepatan dengan jawaban dari Ken.

“Tak ada lagi Hunter Race, Ken.”

Ken mengangguk.

My offer is always open for you―

Seringai timbul di bibir Ken sebelum memotong perkataan Arian, “Iris’s offer, Ar.”

I’m Iris.”

Seembus napas panjang terdengar menderu dari Ken. Iris, sebuah organisasi Internasional—gabungan dari ilmuwan East dan West yang bertujuan untuk melestarikan kehidupan manusia di jagad raya, mengkoloni planet baru, menumbuhkan hutan di planet lain, dan berusaha menjangkau tiap jengkal semesta. Arian menyesap kopinya, matanya menerawang menembus pucuk-pucuk agathis yang ditepuk angin.

Aku tahu tentang Iris karena aku sering ikut curi baca e-newspaper yang sedang dibaca Ken pagi begini biasanya. Ken dan Arian direkrut oleh Iris sejak umur keduanya 14 tahun. Tapi ternyata Iris bermaksud mengambil alih hutan tempat mereka tinggal. Ken pun keluar begitu saja dari Iris setelah sepuluh tahun bekerja di sana, melarikan diri. Membuat kloning atas dirinya sendiri dan membunuhnya, lalu menyembunyikan hutan ini di balik sebuah sistem hologram canggih yang sekaligus berfungsi sebagai shelter—tak bisa diendus satelit, semua jenis gelombang tertolak dan dari luar hanya terlihat sebagai tanah tandus hasil terbakar. Hanya Arian yang tahu.

Akan tetapi di balik itu semua, Iris memiliki satu goal penting yang harus dilaksanakan dalam sepuluh tahun ke depan. Mereka butuh Ken untuk itu—a biological weapon specialist. Iris bukan hanya sudah memintanya dengan sopan untuk kembali, tapi sekarang sudah menaikkan kadar untuk memburunya. Salah satu alasannya adalah Ken dan hutan tempatnya tinggal sekarang menyimpan satu hal yang dibutuhkan para ilmuwan Iris untuk menciptakan senjata tersebut. Satu sentuhan akhir untuk senjata mereka dan Iris percaya, Ken bisa menyempurnakannya.

Setelah perang dunia ke-5 berakhir dua puluh tahun lalu, populasi meledak hebat. Dunia sesak. Gedung berkali-kali lipat tingginya dari masa awal abad ke-21. Pada akhirnya, hal tersebut berimbas pada banyak hal negatif—kemiskinan, kekerasan, kelaparan, kejahatan dan lainnya. Koloni masal pertama di Mars telah ditawarkan dalam sebuah paket kehidupan lengkap, tapi harga yang diberikan mencekik leher dan hanya dapat dibeli oleh orang-orang kaya. Cara lain untuk lari dari Bumi adalah menjadi bagian dari Iris, karena Iris membutuhkan banyak jenius untuk ditempatkan ke dalam pesawat penjelajah atau laboratorium antar planet-galaksi-nya.

Bumi harus dibersihkan dan ditata ulang. Penghancuran sisa manusia yang ada di Bumi tak akan berefek banyak bagi keberlanjutan hidup manusia, karena Iris sudah menyimpan bibit-bibit unggul manusia, lewat teknologi cloning dan bayi tabung, populasi manusia bisa diatur dengan mudahnya. Begitu menurut para punggawa Iris dengan dukungan dari government dari East Land dan West Land.

Sekali lagi, aku memang belum lahir saat semua di atas kuceritakan, tapi aku tahu dari ikut membaca jurnal Ken saat dia menulisnya.

Ken merengkuhku lagi. Mendaratkan bibirnya singkat padaku. Hanya sesaat sampai dia melepaskan hangatnya dariku.

I’ve finished it.

Arian menyimpulkan senyum.

Tell me.

Once it enters to your body, it’ll hurt you from inside. Damages your organs, destroy your blood cells. Just for one or two hours till all of your life turn to be ash. No DNA left, no blood flows. it’ll be very clean treatment for earth. You’ll love this.

Senyuman di roman muka Arian melebar.

I’ll come to you for that.

Of course, I know, brother.

Sedetik selanjutnya, tak lagi terdengar desau angin. Aku melihat sinar matahari yang menajam karena terpantul oleh dua permukaan metal bergerak dalam kecepatan tinggi. Ken berkelit dari terjangan tiba-tiba Arian. Desisan bilah samurai itu terdengar lagi, Ken menghalau lihai. Namun, Ken tahu bahwa dirinya terpojok di dinding.

Sekilas kulihat mata Arian berkilat merah. Tidakkah dia mengingat siapa yang diserangnya sekarang—sahabat baiknya? Kedua ujung pedang terhunus pada Ken. Jelas sekali kudengar deru napas Ken, sebelum dia dengan penuh perhitungan menghindar lalu menyerang bagian tubuh Arian.

Debuk tangan Ken menghajar lengan dan ulu hati Arian terdengar bersamaan dengan erangan keras dari mulut Arian. Namun, hal itu tidak membuat Arian berhenti. Ken mendapatkan ruang lebih leluasa untuk menyerang dari pada tadi. Ia menyiapkan kuda-kuda secara cepat, tak gentar menghadapi Arian dengan dua samurai di tangannya.

Ken mengarahkan serangannya lagi ke lengan Arian, mencoba merebut satu bilah pedang. Arian yang berlajar banyak dari kelengahannya tadi, sekarang lebih hati-hati. Dengan cepat, dia berhasil menyerang balik Ken dan menggoreskan bilah pedang itu ke lengan Ken.

Dari balik lengan kaus Ken yang terpotong, cairan merah merembes keluar dan mengular menuruni tangannya. Sesaat keduanya sama-sama diam dan hanya bersitatap. Ekspresi wajah Ken tak menunjukkan kesakitan, justru dia menyeringai kecil.

Thanks for the pain, it makes me feel alive.

Tanpa diduga, Arian menggerakkan tubuhnya begitu tiba-tiba sehingga Ken tak bisa menghindar. Sekarang bilah pedang itu ada di depan leher Ken, siap mengoyak. Di belakang tubuh Ken, berdiri Arian. Satu tangan Arian yang lain mengikat kedua tangan Ken erat-erat. Arian memposisikan tubuhnya sedemikian rupa sehingga kecil kemungkinan Ken untuk melepaskan diri.

You have to kill me.

Just give it to me. I let you alive.

“Aku lelah menanggung dosa, Ar. Mereka berhak menikmati hidup, Ar, meskipun tak begitu menyenangkan bagi mereka.”

“Tidakkah kamu merasa kasihan melihat orang-orang itu menderita? Kamu di sini, di dalam sini. Dalam balutan kenyamanan yang kamu bisa nikmati sesuka hati. Kamu tidak melihat apa yang sesungguhnya terjadi di luar, Ken. You’re afraid. Aku takkan membunuhmu. Kamu bisa membunuh dirimu sendiri untuk yang kedua kali. You are afraid to die, Ken.”

Aku ingin memejamkan mata melihat adegan tersebut. Tetapi kedua mataku malah melotot lebar. Melihat ujung pedang itu perlahan menyentuh leher Ken. Arian tak akan mungkin membunuh Ken. Tak akan mungkin.

“Aku bisa merasakannya, Ar. Ujung pedang itu di tepi leherku. Just cut my throat, and everything will ends.

Arian melempar tubuh Ken ke depan hingga Ken jatuh terjerembap dan membentur pinggiran pagar beranda. Buku di tangannya ikut jatuh, lembarannya terbuka. Sebuah pistol. Ken sudah mengukir lubang di antara tebal buku tersebut untuk menyimpan pistol.

Moncong pistol itu terarah pada Arian.

“Kamu takkan membunuhku, Ken. Itu berdosa.”

Ken menutup matanya. Ia sudah membunuh hampir seluruh populasi warga semenajung eks kawasan Asia Timur, Jepang serta Malaya. menggunakan wabah penyakit menular kreasinya. Sehingga sekarang kawasan tersebut ditutup dan dikuasai Iris, untuk diteliti lebih lanjut dan Iris pun bisa dengan leluasa menambang Catalysidium—sebuah mineral untuk sumber energi yang hanya terkandung di perut Gunung Fuji—demi keperluan ilmu pengetahuan serta tujuan mereka.

Dor!

Disusul bunyi pecahan kaca. Peluru itu meleset dan mengenai kaca depan rumah. Arian memanfaatkan momen itu dengan memasukkan kembali samurainya ke dalam tas panjangnya dan mengambil sebuah pistol.

I’ll kill you.

Ken berdiri terhuyung.

Oh, you couldn’t,” ejek Arian sembari menodongkan ujung pistolnya lurus ke kepala Ken. “Tell me first, I’ll kill you later. As you wish, brother.

“Semua ada di dalam buku ini.” Ken mengakhiri kata-katanya dengan menarik pelatuk pistolnya.

Aku ingin menjerit.

Peluru tak diduga itu mengenai telapak tangan Arian. Yang langsung dibalas dengan tembakan bertubi-tubi ke arah Ken. Aku yang berada di dekat Arian tak luput menjadi serangan. Kulihat saat runcing peluru itu, menuju ke arahku. Di mataku masih terlintas bagaimana tubuh Ken merosot jatuh. Darah membanjir dari lubang-lubang yang dibuat peluru-peluru itu di kulit halusnya. Aku tak bisa memejamkan mata, bahkan tak bisa berteriak ketika ujung peluru itu menembus tubuhku. Suara yang begitu keras menyambangiku, mengiringiku meledak menjadi berkeping-keping. Dan aku jatuh dalam ratusan pecahan ke lantai. Bersama dengan air yang tadi belum seluruhnya dihabiskan Ken. Kami melayang di udara, kemudian dalam beberapa detik menghujam dan tersebar di lantai kayu, tubuh Ken dan lembaran buku yang terbuka.

Air melelehkan tinta yang membentuk aksara di lembar buku itu. Aku tersenyum. Tinta itu membanjir ke luar, seperti Ken yang berdarah. Ken dengan pandangan redupnya, menyeringai kecil ketika Arian meraih buku dengan tangannya yang terluka. Kulihat merah darah yang dinodai gelapnya tinta. Tinta yang ditulis oleh Ken menggunakan racun buruan Iris.

In the end, we die together.

Bogor, 16111

*The heliopause is the theoretical boundary where the Sun's solar wind is stopped by the interstellar medium; where the solar wind's strength is no longer great enough to push back the stellar winds of the surrounding stars. Voyager 1 is expected to cross the heliopause by 2014. The crossing of the heliopause should be signaled by a sharp drop in the temperature of charged particles

0 komentar: