Selasa, 22 Juni 2010

Forget Jakarta

Happy Birthday Jakarta, ini sedikit cerita untukmu :)

Forget Jakarta

Song and Lyrics by Adhitia Sofyan
Story by Adis Aditia

I'm waiting in line to get to where you are
Hope floats up high along the way

Sorotan lampu itu pecah berkeping-keping ketika menyentuh lantai bening berkeramik itu. Terpelanting, terpantul kemana-mana termasuk padamu. Serupa yang kamu lihat setiap malam. Disaat langit siap dengan gaun tidurnya dan menyalakan lampionnya sendiri, bulan dan gemintang.
Biasan cahaya itu membuatmu makin menawan, bahkan tanpa kerlip lampu itu pun semua orang sudah memicingkan matanya padamu. Iri! Begitu pula kawananmu, kau dilahirkan spesial. Karya agung para pemahat luar biasa di negeri seberang benua sana. Semua yang nomor satu.
Dulu, ketika kamu lahir dan baru dapat melihat dunia, rasa takut menderamu. Kamu yang istimewa, akankah menemukan teman yang baik diluar sana? Seseorang yang menyayangimu seperti sepenuh hati para pembuatmu. Kamu ingin menangis, namun tak mau. Kamu terlalu gentle untuk menangis.
Terbang dan berlayar, kamu menempuh perjalanan panjang dari negeri kandungmu kemari, tempat dimana kaki-kakimu sekarang menempel di atas lantai ubin yang dingin. Takjub. Itulah yang terpikir olehmu ketika dengan anggun turun dari kapal besar yang membawamu.
Sinar matahari yang terlalu terik, cuaca menyengat dan polusi. Lalu, mulai hari itu atau keesokan harinya, kamu akan ikut menyumbang salah satu dari hal itu, sebab kamu sudah resmi menjadi penghuni tanah ini. Padahal sebelumnya, dari bawah awan kamu melongok ke bawah, tersebar hijau berseling biru. Kamu berharap bisa disana, di tepiannya, pantai dan hutan yang bahkan belum pernah kamu lihat secara langsung.
Sayangnya, semua tidak seperti ekspektasimu. Memang hutan di sekitar rumahmu sekarang, tapi hutan beton. Sungguh lautan sekeliling gedung penuh cemerlang lampu ini ketika musim hujan tiba dan kamu hanya bisa termangu, tak bisa kemana-mana. Kamu membayangkan bagaimana rasanya berkubang air, tapi tak pernah dibiarkannya.

I forget Jakarta
All the friendly faces in disguise
This time, I'm closing down this fairytale

Di gedung ini, kamu bertemu kawananmu. Persis, meski tak serupa, tetapi sama istimewanya. Kamu berteman. Mereka yang lebih senior bercerita banyak tentang kota itu, dimana kamu akan jelajahi nanti. Tak terkesima, sebab lebih banyak kisah tak menyenangkannya dari mereka. Kecuali, tutur mereka tentang dia.
Dia, orang yang menganggap kamu dan kawananmu adalah anak-anaknya. Dia yang selalu lembut, tak pernah marah pada kalian. Dia memanjakan kalian, selalu memberikan nutrisi bergizi, merawat ke salon langganan, mengecek kesehatan pada dokter langganan sampai membayarkan biaya tinggal kalian yang tak sedikit. Dia tak pernah lupa untuk mengingatkan staf-stafnya untuk memperlakukan kalian sebaik mungkin, karena kamu dan kawananmu adalah anak-anaknya.
Semua menyukainya. Saat tiba waktu dia memilih salah satu dari kalian untuk berpergian, setelah itu akan ada cerita-cerita menarik. Kamu senang mendengar cerita itu, tapi lebih senang lagi jika dia yang mengajakmu berjalan berdua. Dia seorang perempuan yang begitu keibuan.
Disinilah kamu merasa beruntung, meskipun Jakarta tak pernah ramah padamu. Kemacetan, banjir, jalan berlubang, orang iseng hingga penjahat betulan. Mulanya kamu ketakutan, tapi dia selalu bisa menenangkanmu.
Hanya dia, penawar setelah melaksanakan tugas yang melelahkan seharian. Bisa jadi menyenangkan ketika bersama orang yang pengertian, tapi jika berjumpa orang yang tidak pedulian rasanya kamu diajak kerja rodi. Dia selalu menilik kamu atau yang lainnya setelah tugas kalian selesai, tentu saja sesudah kalian mandi dan wangi. Dia mengelus penuh kasih sayang, lalu duduk, menciumi aromamu. Kamu sendiri menikmati sepuas-puasnya ketika hanya berduaan seperti itu.
Hampir setiap malam dalam posisi yang sama. Menggelosor di lantai yang dingin berkawan MacBook Air yang begitu tipis hingga kamu ketakutan dia lupa lalu akan mendudukinya. Diiringi melodi favorit yang juga hampir tak berganti, Cayman Island, Adelaide Sky dan Forget Jakarta. Sampai-sampai kamu hafal liriknya, bukan cuma kamu tapi seisi ruangan itu juga.
Seringkali, di kala libur, dia mematikan seluruh penerangan seolah memohon agar sinar rembulan berkenan masuk lewat kaca diatas galeri. Kamu pun ikut berharap. Jakarta hampir tak menyisakan bintang untuk diajak bercakap-cakap, langitnya terlalu kelabu, kotanya sendiri terlalu benderang. Kamu mengamatinya setiap kali tak mendapat tugas malam, bermenit-menit dia mendongak laksana perempuan yang bersimpuh berdoa, tanpa lelah, mencari bintangnya, menghibur kamu dengan kicauannya sendiri. Tak jarang bibirnya melengkungkan senyum. Itu mempesona.
Kecantikannya memancar dari dalam, inner beauty, begitu yang kamu dengar dari media. Paling cantik dari yang pernah kau temui di jalanan, di televisi, di baliho. Seisi ruangan pun setuju.
Kesayangannya, bukan kamu, tapi si putih yang berotot itu. Entah mengapa dia menyukainya, padahal kamu jauh-jauh lebih tampan dan rupawan. Meskipun begitu bisa dihitung dengan jari kapan dia menghabiskan waktu dengan kamu atau si putih. Ada yang lain, yang selalu mendampinginya, yang selalu kamu tatap iri.
Meskipun begitu, kamu dan kawananmu mempercayainya. Dia yang terbaik. Tak ada takdir yang terbaik bagi kalian semua dibanding bertemu dengan dia. Bahkan kamu percaya, dia tak akan memisahkanmu jauh-jauh kecuali untuk tugas. Kamu akan disini selamanya, ini rumahmu. Kamu berharap begitu, setinggi hatimu bisa berangan-angan.

And I put all my heart to get to where you are
Maybe it's time to move away

Malam-malam terakhir ini, dia jarang terlihat duduk-duduk bersama kawananmu lagi. Tak tahu kemana kaki berbalut Christian Louboutin itu melangkah pergi. Senyap, itu malam-malam kalian, apalagi jika banyak diantara kawananmu yang harus menunaikan tugas. Hanya tawa canda petugas jaga yang menghibur kamu dan kawananmu. Kamu bosan. Kamu rindu. Kamu ingin memandangi matanya yang lucu, hidungnya yang mancung dan helaian rambut yang jatuh di sekitar wajahnya.
Hari sebelum kamu mendapatkan kabar itu, dua hari dua malam kamu tak pulang ke rumah. Kamu dibawa kabur! Dia kalang kabut mencarimu. Padahal, dia tahu kemana saja gerakmu karena terpantau GPS. Dia hanya ingin memastikan jika kamu tak tergores dan terluka sedikit pun. Lihat betapa dia menyayangimu kan?
Kabar itu menghentakmu ketika kamu baru saja kembali ke kamarmu pagi itu. Dalam lelah, teman sekawananmu, disampingmu kanan kiri dan depanmu bergosip, kamu mendengar. Dia akan menikah. Hatimu patah.
Sesak rasanya meski siangnya dia memilihmu untuk menemaninya menuju Pacific Place, sebuah mall tempat kamu sering bersua dengan kawanan di luar rumahmu. Keluar dari sana dengan kantong-kantong belanja Bvlgari, Hermes dan Valentino di tangannya bersama dua pria. Satu kamu kenal baik, dia langganan galeri dan satu lagi lebih muda, hmm… brondong manis, begitu dunia mengistilahkannya. Ketiganya berpisah, dia padamu, laki-laki yang kamu tahu menuju si hitam yang satu keluarga dengan si putih berotot dan si bronis melangkah ke arah, kamu mengerenyitkan mata, tidak perlu kamu deskripsikan, tidak keren dibandingkan kamu yang sebuah mahakarya.
Tiga tahun yang kamu lewati membuatmu kenal watak kota ini. Sejak awal, dengan status tinggi yang menempel padamu, kamu sudah mengerti bagaimana harus bersikap. Angkuh. Tak peduli meskipun ada kamera amatir mengamatimu, ada decak kagum keluar dari mulut-mulut yang matanya menelanjangimu penuh nafsu atau malah gerutuan sirik yang menganggap dia dan kamu tak peka, tak tahu kondisi di negeri serba tak tentu ini. Seperti dia, bukan emosi yang diperlukan disitu tapi pengendalian diri karena masalah tak perlu sengaja diciptakan di kota sudah penuh masalah itu.
Berada di jalanan serasa berada di atas catwalk, kamu menyukainya. Kamu bisa bereskpresi sesuka hati. Sayangnya kali ini hatimu terpecah. Ada perasaan tak rela ketika dia akan menikah. Dia akan memiliki anak-anak sungguhan, bukan kamu lagi, bukan kawananmu. Kamu akan kehilangan. Kamu ketakutan.

I forget Jakarta
And all the empty promises will fall
This time, I'm gone to where this journey ends

Pagi itu, saat hari libur tiba, kamu dan kawananmu diajak berlibur ke Bogor. Ramai sekali, kamu melihat banyak sesamamu yang belum pernah kamu kenal sebelumnya. Serta adik-adik juniormu yang kau akui lebih darimu sendiri. Di tengah hiruk pikuk manusia, kamu mencari-carinya, tapi tak ketemu. Kamu kecewa. Namun, kawananmu menikmati acara piknik itu, bersenang-senang tanpa harus terjebak kemacetan Jakarta setiap harinya. Kemacetan itu melelahkan, kamu selalu mendengar keluhan itu dari teman-temanmu. Belum lagi kualitas jalanan yang buruk membuat kamu dan kawananmu tidak bisa mengekspresikan diri semaksimal mungkin.
Dia datang! Akan tetapi, gelenyar bahagiamu segera redup. Dia bersama bronis itu. Kelihatan begitu dekat. Saat itu kamu berharap diciptakan sebagai autobot, sehingga bisa memperlihatkan emosimu, bisa bicara. Sayangnya, itu hanya ada di dalam film Transformer, cuma mimpi. Kamu hanya terpaku, menatap pemandanganya yang membuatmu muak.
Wajah bronis itu kelihatan bersinar, ada luapan kegembiraan yang kamu temukan dari tiap gerak jemarinya yang menyentuhmu. Kamu merinding.
"Jadi deh mbak saya ambil Audi R8-nya, hari ini juga uangnya saya langsung transfer."
Perkataan bronis terdengar olehmu. Perasaanmu berkecamuk. Kamu melihatnya, sungguh dia tersenyum. Malah dia kelihatan bahagia sekali. Hatimu bukan lagi patah, tapi hancur berkeping-keping.
"Oke. Surat-suratnya juga sudah disiapkan kok," katanya sambil membuka pintu milikmu. "Kamu jagain dia baik-baik ya, dia ini salah satu andalan saya lho. Saya sayang banget sama anak saya yang satu ini." Jemari lentiknya menyusuri tubuhmu. Sentuhan yang tak terkira harganya bagimu.
Kalau dia sayang kamu mengapa dia harus menyerahkanmu pada orang lain? Karena kalian memang berbeda. Kamu hanya mesin dan dia adalah manusia berhati. Meskipun waktu tak pernah bisa menahan kalian berdua untuk menua tiap detiknya.
"Padahal masih bagus, kenapa ngebet dijual mbak?"
"Mau ambil adiknya, yang 2010."
Bronis itu tersenyum. Dia menutup pintu pelan dan lembut seperti yang selalu dilakukannya. Kamu akan merindukan itu. Kamu bisa merasakan bronis itu di dalammu. Kamu merasa sesak. Kamu tak kuasa lagi menahan tangis. Bronis itu mulai membawamu berjalan. Lewat spion, kamu bisa melihat penampakannya, berdiri mematung menatapmu. Mungkin yang terakhir kalinya kalian bertemu.

Yeah I'm still on my way to get to where you are
Try to let go the things I knew
We'll forget Jakarta
Promise that we'll never look behind
Tonight, we're gone to where this journey ends

Bogor, 29 April 2010
Cuma menulis apa yang ingin ditulis kok =)
Kalau yang sudah baca cerpan Persimpangan (Simple Life, Simple Love) pasti kenal tokoh2 diatas, kecuali si bronis… Kenapa Audi R8? Hmm…gak tahu juga. Yang kepikiran itu sih… Kalo Lambo dijual sayang, kalo Ferarri Enzo apalagi. Cayman Island by Kings of Convinience, Adelaide Sky dan Forget Jakarta by Adhitia Sofyan (semuanya lagu favorit sayaaa….)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

[url=http://casinoonlinebonussverige.com ]internet casino [/url]they had struggled for their country's being. http://casinoonlinebonussverige.com online casino free internet casino country. In the name of democracy they speak, warning the people against