Selasa, 22 Juni 2010

Selalu

Selalu

(Aditia)

Hujan belum sepenuhnya berhenti. Awan-awan mendung masih berpesta pora di langit seolah-olah ingin menyebarkan kejutannya satu persatu. Angin mengalir, menguarkan bau tanah yang menyeruak sehabis hujan. Tak lupa pula merontokkan titik-titik air yang tersangkut di ujung dedaunan untuk bergabung dengan genangan air di sudut halte taman itu.
Disana duduk beberapa orang dengan satu hal yang sama dalam benak mereka. Menunggu. Satu menanti hujan reda dan sekarang bersiap untuk beranjak dari halte itu. Tinggalah dua orang lagi, seorang perempuan dan laki-laki. Duduk terpisah, tak saling mengenal. Itulah adanya. Hingga akhirnya sebuah bis kota berhenti di depan halte tersebut. Perempuan itu segera bergegas naik ke dalam bus. Namun digantikan oleh perempuan lain yang turun dari bus tergesa-gesa masih dengan menenteng payungnya yang berwarna hijau muda.
Mata laki-laki itu terpancang pada sosok perempuan di hadapannya itu. Sama sekali bola mata gelap itu tak beranjak dari perempuan itu turun hingga kini duduk di sampingnya. Semburat senyum tipis muncul dari bibir laki-laki itu melihat tingkah perempuan itu menyapanya dengan suaranya yang lucu, menurutnya.
"Elang," sapanya pelan.
Perempuan itu menghadapkan pergelangan tangannya tepat di depan matanya untuk melihat angka yang ditunjukkan jam tangan yang menghiasi tangannya itu. Mengelapnya sebentar karena beberapa bulir air yang menempel di permukaannya.
"Aku telat ya?" tanya perempuan itu lagi.
"Enggak kok," jawab Elang santai. "Lagian hujan, wajar aja kalo telat."
"Tapi ini kan Bogor, Lang. Kalau pakai alasan hujan untuk telat itu sungguh gak masuk akal!" balasnya sewot sambil mengecek isi tasnya yang juga basah.
Elang tertawa kecil mendengar pernyataan perempuan disampingnya itu. Benar memang yang dia bilang, ini Bogor, Bogor saja punya julukan Kota Hujan. Jadi seharusnya memang harus siap kapan saja hujan datang menghadang.
Perempuan ini, Anggrek, seorang yang selalu membuat hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang dan tingkahnya jadi tak karuan. Atau dengan kata lain, Anggrek adalah seorang yang telah membuatnya jatuh hati selama kurang lebih lima bulan belakangan ini. Wajahnya selalu hadir di benaknya, suaranya terus terngiang di telinganya. Ya, dia telah jatuh cinta, jatuh cinta.
Rasanya ingin melakukan segala hal untuknya. Memberi semua yang diinginkannya. Menemani dan menjaganya sepanjang waktu, tak terpisah meskipun sedetik pun. Berlebihan memang sepertinya, malah lebih mirip gombal rayu, tapi itu nyata. Persis seperti itu yang Elang rasakan.
Elang melirik Anggrek kembali. Bibirnya pucat, sepertinya dia agak kedinginan karena kehujanan tadi. Elang melepaskan jaketnya, menyerahkannya pada Anggrek tanpa harus menunggu Anggrek memintanya. Anggrek menatapnya, Elang tersenyum kembali.
"Boleh aku pakein?" tanya Elang tulus, berharap permintaannya diluluskan Anggrek.
Anggrek menggeleng dan meraih jaket itu dari tangan Elang, "Makasih, gak usah repot-repot, Lang." Bibirnya membentuk senyuman yang sudah Elang hafal benar-benar, balasan untuk kebaikan Elang baru saja.
"Kamu tahu, aku akan lakukan semua yang kamu minta. I'm yours," gumam Elang seraya memandang Anggrek dalam-dalam.
"Makasih, Lang. Gak perlu repot-repot buat aku," jawab Anggrek balas memandang Elang. Dan sekali lagi senyuman untuk Elang.
'Terimakasih' dan 'gak perlu repot', frase yang sama terucap dari mulut Anggrek selama lima bulan belakangan ini. Berulang kali, hingga Elang hafal intonasi pengucapannya. Sama banyaknya dengan Elang mengucapkan kalimat itu, mengungkapkan betapa sayang Elang pada Anggrek.
Perempuan ini menyukai kejutan-kejutan yang sering diberikannya. Membalas perhatiannya. Tak pernah segan untuk mengiyakan ajakannya nonton dan makan bersama. Tetapi mengapa tak juga jawaban itu meluncur dari mulutnya?
Elang membuang pandangannya ke arah halte di seberang jalan. Kosong. Begitu kosongkah harapannya saat ini? Sudah berkali-kali Elang mengungkapkannya, betapa ia mencintainya, betapa ingin dia menjadi kekasih hatinya. Anggrek meminta waktu dan ia memberinya. Detik demi detik, hari demi hari menjadi bulan demi bulan. Tak sabar sudah rasanya menunggu.
Yang terakhir. Elang memintanya penuh permohonan dan penuh pengibaan. Seperti biasa, Anggrek hanya tertawa-tawa menanggapinya, tersenyum, mengucapkan 'terimakasih' dan 'jangan repot-repot'. Elang terus mendesakknya hingga akhirnya Anggrek mengajukan satu syarat yang mudah buatnya. Anggrek memintanya untuk menulis sebuah cerita pendek yang mewakili isi hatinya. Jika isi hatinya benar-benar tergambar disana, Anggrek bilang dia akan lulus ujian terakhir.
"Lang, kamu punya minum?" ujar Anggrek memecah lamunan Elang.
Cepat-cepat Elang membuka tasnya dan mengulurkan sebuah botol minuman. Ketika Anggrek mengambil botol itu dari tangannya, jemari mereka saling bersentuhan. Desiran itu kembali muncul dalam benak Elang. Dari sentuhan kecil itu, Elang berharap Anggrek bisa mengerti seberapa besar perasaan Elang pada Anggrek. Mata Elang kembali mengarah pada wajah Anggrek.
"Makasih, Lang," katanya sambil membuka botol minum milik Elang.
Satu, dua, tiga. Hanya tiga tegukan hingga botol air itu turun kembali. Dengan pelan Anggrek menutup botol itu lagi.
"Gimana novel kamu? Bisa diterbitin?" Elang membuka percakapan antara mereka.
Anggrek melenguh. "Hari ini belum bisa ketemu editornya. Jadi mesti reschedule," ujarnya malas.
"Maaf ya hari ini aku gak bisa temenin kamu," sahut Elang cepat dan penuh rasa bersalah.
"Ih, gak apa-apa kali Lang. Kamu udah terlalu banyak nolong aku," kata Anggrek sambil tertawa kecil dan menepuk-tepuk bahu Elang.
"Kamu semangat ya. Pasti bisa. Lain kali aku janji nganterin deh, biar kamu gak perlu repot-repot naik kereta," ujar Elang.
"Tapi aku jadi ngerepotin kamu." Sekali lagi, tawa itu keluar dari mulut Anggrek. Elang ikut tersenyum bersemangat. "Makasih ya Lang, aku pasti bersemangat. Lebih dari empat bulan aku sisihkan untuk ngerjain novel itu, masa usahaku cuma berenti sampai disini."
Tak ada lagi tawa, keduanya hanya saling tersenyum dan menatap. Seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.
Mendengar penuturan Anggrek, Elang teringat cerita permintaan Anggrek yang telah diselesaikannya. Anggrek hanya memintanya dalam bentuk cerita pendek. Tetapi entah setan apa yang merasukinya, ketika Elang meletakkan jemarinya diatas keyboard komputernya, kata demi kata seperti berpesta. Membanjir dan terangkai cepat menjadi lantunan kalimat indah dan paragraf yang bercerita. Elang memang suka menulis, namun belum pernah mengarang sebuah cerita. Ini kali pertama. Saat Elang menyadari hasil kerjanya selama sebulan, cerita itu sudah mengisi lebih dari 150 halaman. Cukup untuk dibuat sebuah novel. Novel drama romantis yang menyedihkan dan menggetarkan hati. Menurutnya, semua itu dapat dilakukannya karena kekuatan dan keajaiban cinta.
Elang tersentak dan mengeluarkan novel buatannya itu dari dalam tas. Setiap detik sangat berharga. Semua ini akan menjadi muara dari penantiannya selama ini.
"Ini, yang kamu minta," Elang menyerahkan lembaran kertas bersampul dan berjilid rapi. "Maaf kalo acak-acakan begitu."
Anggrek terbelalak melihat naskah yang ada di tangan Elang. Matanya berbinar kagum. "Ini buatan kamu?!" katanya sambil merebut naskah itu.
Elang mengangguk puas.
"Aku cuma minta cerpen Lang. Ini, ini lebih dari cukup," ujar Anggrek bangga.
"Maaf kalo ceritanya kurang bagus. Aku udah berusaha," sahut Elang tersipu malu.
"Tenang aja. Masalah cerita, aku juga belum bisa menilai. Kan aku belum baca. Tapi amazing, kamu bisa bikin sebanyak ini dalam waktu sebulan!" serunya senang seraya memeluk naskah itu. Anggrek kelihatan begitu gembira sekali.
"Ya, itu khusus aku bikin buat kamu. Kalau buat kamu, semua juga akan aku lakukan," tambah Elang pelan.
"Makasih Lang."
Mereka pun sama-sama terdiam. Pikiran Elang kacau kembali, seberantakan detak jantungnya saat ini. Menanti, kapan jawaban itu akan terucap dari mulut Anggrek.
"Jadi-"
"Aku harus pul-"
Keduanya bicara bersamaan setelah sunyi antara mereka tadi. Kemudian saling membuang muka dan sedikit salah tingkah. Lalu mereka saling melihat kembali dan lagi-lagi membuka mulutnya bersamaan. Mereka sama-sama tertawa.
"Kamu duluan saja Lang," ucap Anggrek, tertawa lagi.
Elang gugup menyadari waktunya telah tiba. Semua sudah dilakukannya, apalagi yang membuat Anggrek tak bisa menjawab. "Jadi, gimana? Maukah kamu melengkapi separuh hidupku?"

***

Anggrek merasa mulutnya terkunci mendengar kalimat Elang barusan. Sudah berkali-kali, dalam berbagai versi Anggrek menerima kalimat itu dari Elang. Tetapi masih sama apa yang dirasakannya, desiran itu, apakah itu cinta. Anggrek tak berani mendefinisikannya. Anggrek tak sanggup menghadapi kenyataan yang ada. Terlalu takut untuk menyakiti.
Satu alasan lagi. Alasan terakhir. Anggrek merasa Elang memperhatikannya lekat-lekat. Matanya menumbuk naskah yang dipegangnya.
"A-aku, baca ini dulu boleh?" katanya terbata. "Kan aku belum tahu gimana kamu mendeskripsikan isi hati kamu disini."
Elang menepuk dahinya, "Oh iya. Bener juga. Sebenernya aku harap kamu baca disini dan bisa langsung jawab pertanyaan aku. Tapi berhubung, itu tebal dan kamu juga abis keujanan. Yaudah, gak apa-apa," jawab Elang yang membuat hati Anggrek sedikit lega itu.
"Aku pulang sekarang ya." Anggrek berdiri dari sikap duduknya barusan.
"Maaf gak bisa nganterin kamu. Habis ini aku harus ketemu dosenku. Maafin aku ya?"
"Iya, Elang. Gak apa-apa," jawab Anggrek meyakinkan Elang agar tidak khawatir.
Anggrek sudah maju tiga langkah dari halte, saat mendengar Elang memanggil namanya kembali. Anggrek menoleh dan menemukan Elang berdiri di belakangnya dengan sebuket bunga mawar putih. Lagi-lagi kejutan. Elang memang selalu penuh kejutan.
"Buat kamu. Sebagai tanda kalau aku memang tulus mencintai kamu," ujar Elang sambil memberikan buket bunga itu pada Anggrek. Dengan sukacita Anggrek menerima mawar putih itu. Wanginya membuat Anggrek tak tahan untuk mencium mawar itu lebih dekat.
"Terimakasih. Sekali lagi," ucap Anggrek lembut. Kemudian Anggrek berbalik dan mulai berjalan lagi. Baru satu langkah dibuatnya, ada yang menarik tasnya dari belakang. Anggrek menoleh lagi. Ada Elang yang menahan tasnya. "Apa lagi Lang?"
Elang melepaskan tangannya dan tersenyum sumringah. "Cuma mau bilang. Hati-hati. Aku sayang kamu."
Anggrek membalas senyuman itu, "Terimakasih Lang. Aku pulang sekarang."
Senyuman itu masih bertahan di bibirnya hingga langkah kelima. Tak lagi Elang menahannya untuk pergi. Anggrek mulai membuka naskah yang berjudul 'Selalu' itu. Sebentar dia berhenti di tepi jalan untuk menyebrang ke halte di sisi jalan yang lain karena bis menuju rumahnya memang lewat halte yang disana, bukan yang disini. Halte ini terletak di perempatan jalan, meski tidak begitu ramai, Anggrek tetap mengecek arah kanan dan kirinya sebelum menyebrang. Saat dirasa kosong, Anggrek berjalan kembali sambil membuka naskahnya pada sebuah lembar pengantar yang berisikan sebuah syair.

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal Hidup.
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam Cinta tak bermuara.
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara.

Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tiada pasti. Namun aku terus disini.
Mencintaimu.

Entah kenapa.

(Dewi Lestari - Supernova : Ksatria, Putri & Bintang Jatuh)


Syair kesukaan Anggrek. Yang buku milik Anggrek sudah lama hilang dan hanya samar-samar diingatnya. Disini, dengan jelas Elang mengutip itu untuknya. Mengungkapkan cintanya. Bahwa dia selalu ada disini. Mencintainya.
Anggrek merasa lega. Seulas senyum tercipta di wajahnya. Beban yang lama ditahannya dalam hati mendadak mencair dan lenyap. Dia tahu apa yang harus diberikannya pada laki-laki itu. Anggrek menoleh ke belakang dimana Elang berdiri tadi.
Tetapi Elang sudah tidak berada disana. Matanya menangkap sosok Elang yang menubruk tubuhnya. Dan sebuah mobil berkecepatan tinggi mengarah padanya, dekat sekali.
Kemudian, terdengar jeritannya sendiri, jeritan orang lain. Tubuhnya dan Elang terhempas keras ke lantai aspal yang basah. Rasa sakit menjalari tubuhnya, berawal dari kakinya hanya citra merah yang ditemukannya disekujur kakinya dan kaki Elang. Mawar putih itu berubah semerah darah. Selanjutnya gelap.

***

Putih. Lambang ketulusan dan kesucian. Tetapi banyak orang membenci putih yang ini. Bau obat menyeruak dimana-mana. Paramedis berlalu lalang, hilir mudik.
Seorang laki-laki muda berjuang mengayuh kursi rodanya. Beberapa orang memberi pandangan simpati padanya, usia muda, wajah tampan tapi dengan kaki yang tidak lengkap, kedua kakinya dari betis hingga telapak kaki harus diamputasi. Rasa simpatinya itu dibalas dengan seberkas senyum dan semangat yang tak pernah luntur darinya.
Perlahan tapi pasti, ia mencapai sebuah ruangan yang ditujunya. Perlahan diketuknya pintu itu, tak lama kemudian terdengar sebuah suara dari dalam yang mempersilahkannya untuk masuk. Laki-laki itu memutar kenop pintu penuh khidmat dan berusaha membuka pintu tanpa suara.
Hanya ada satu ranjang dalam kamar itu. Diatasnya seorang perempuan terbaring tepat di minggu keempatnya hari ini. Melihat siapa yang mengunjunginya, wajahnya bersinar cerah dengan senyum tersungging di bibirnya. Laki-laki itu membalas pandangan perempuan itu penuh suka cita, penuh cinta tak lagi peduli meskipun kaki perempuan sudah tak lengkap dari lutut ke bawah.

FIN

Rumah, 19 Agustus 2009 10.38-14.49
Kepada orang-orang tercinta dalam hidup saya. Jangan pernah menyia-siakan cinta yang diberikan padamu, karena cinta adalah sebentuk energi yang tak bisa diciptakan dan tak bisa dimusnahkan melainkan berubah bentuk. Berubah bentuk jadi apa, terserah cinta itu sendiri. Dan ini hanya sebuah cerita fiktif, bukan doa, bukan harapan.


0 komentar: